Good Corporate Governance adalah cita-cita seluruh perusahaan. Namun terkadang cita-cita untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik itu tidak berjalan mulus karena ada segelintir SDM yang tidak memiliki integritas yang baik. Sayangnya gangguan seperti itu kadang tidak diketahui oleh manajemen perusahaan.
Kadangkala praktik-praktik kecurangan justru diketahui oleh karyawan di level bawah atau bahkan orang-orang di luar perusahaan sehingga jarang terungkap. Ada beberapa penyebab praktik seperti itu tidak terungkap, diantaranya karena tidak diatur secara formal, atau ada keengganan karena ada hubungan emosional dan lain-lain.
Angela Indirawati Simatupang, International Contact Partner RSM Indonesia mengatakan, untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, ada satu syarat yang diperlukan yakni Whistle Blowing System (WBS). Sistem ini secara prinsip mekanisme sudah terjadi, tapi secara umum belum terformalisir sehingga orang tidak tahu, bahwa disebuah perusahaan ada saluran untuk itu, yang diperbolehkan dan dikeluarkan oleh perusahaan.
Menurut Angela, WBS dapat dilakukan oleh internal perusahaan sendiri ataupun melalui perantara pihak independen. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan dibutuhkan kesiapan untuk melaksanakannya.
WBS yang dilakukan oleh internal perusahaan, memang tidak ada pengeluaran tambahan karena memakai unit sendiri, dan data tidak tersebar keluar. Tapi negatifnya, risiko gagal akan lebih besar karena informasi bisa tidak tersampaikan. Barangkali informasi akan di-cut, karena mungkin yang menerima adalah orang yang dilaporkan sendiri.
Namun jika dilakukan oleh pihak independen, risiko akan lebih kecil, karena penerima laporan tidak mengenal dan tidak ada kedekatan emosional dengan orang yang dilaporkan. Dengan demikian laporan dipastikan akan diteruskan. Pihak independen juga lebih dipercaya sehingga data integritas lebih terpercaya.
“Kalau soal kebocoran, ada etika profesi untuk menjaga kerahasiaan,” ujar Angela.
Mengelola laporan melalui WBS, lanjut Angela, dapat mengurangi resiko reputasi perusahaan. Laporan juga berguna untuk perbaikan kedepan agar praktik serupa tidak terulang lagi. Selain itu juga untuk menguatkan budaya etika bisnis.
Dengan WBS membuat semua orang merasa selalu ada yang memperhatikan. Dengan demikian, orang yang akan melakukan sesuatu yang tidak benar akan mengurungkan niatnya. Ini artinya terjadi penguatan budaya itu.
Untuk itu penting bagi perusahaan untuk segera menerapkan sistem tersebut. Menurut Angela, sistem tidak langsung terkait dengan IT, tapi terlebih dulu melalui proses, mekanisme dan prosedur. Artinya melalui kebijakan terlebih dahulu, baru kemudian disusun SOP.
System itu dimulai dari siapa yang menerima laporan, siapa yang menindaklanjuti laporan, siapa yang berhak menentukan laporan perlu ditindaklanjuti atau tidak. Kemudian siapa yang menentukan siapa yang akan melakukan investigasi, siapa yang menetukan hukuman.
“Setelah itu prosesnya dapat dimudahkan menggunakan IT,” jelasnya.
Dengan penggunaan IT, semua akan menjadi lebih mudah, laporan bisa dilihat secara real time. Dengan IT akan dapat dilihat berapa laporan yang masuk, berapa laporan yang terkait dengan pelanggaran, berapa laporan yang sudah ditindaklanjuti. Dan itu dapat dilihat tanpa melihat siapa yang melapor.
Untuk pihak yang dilaporkan, tergantung dari kebijakan perusahaan. Bisa tidak disebutkan siapa pihak yang dilaporkan. Itu dilakukan untuk mengurangi resiko laporan tersebut akan dicoret. Tapi pada saat perusahaan memutuskan untuk ditindaklanjuti, perusahaan seharusnya tahu siapa yang dilaporkan.
“Tapi di awal sampai saat penentuan perlu ditindaklanjuti apa tidak itu sebaiknya anonimus. Tapi untuk pelapor harus jelas, itu untuk kepentingan investigasi,” jelasnya.
Di Indonesia, saat ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan WBS. Sebagai contoh Garuda, beberapa bank, dan regulator juga menggunakan. Beberapa perusahaan yang menjadi prioritas untuk memiliki sistem ini adalah perusahaan yang menghimpun dana masyarakat, perusahaan yang tercatat di bursa, perusahaan yang mempunyai tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap lingkungan. Serta bagi perusahaan yang mempunyai banyak stage holder, yang jika terjadi sesuai berdampak luar terhadap orang lain itu juga perlu. Pemerintah juga perlu karena berkaitan dengan pelayanan publik.
Beberapa laporan WBS adalah hal-hal yang mencakup mengenai fraud atau penipuan, pelanggaran kode etik, dan pelanggaran peraturan perusahaan. Untuk pelanggaran peraturan perusahaan bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran berat, ringan atau sedang. Tapi kalau untuk korupsi dan penipuan, itu tidak ada tingkat kecil sedang atau besar, berapapun itu penipuan, yang menyangkut pada integritas.
“Nilai berapapun kalau fraud atau korupsi tidak bisa dianggap ringan, sedang, berat. Mencuri bukan masalah besar atau kecil, tapi masalah pertama kali, kecil bisa menjadi besar,” jelasnya.
Dalam melaksanakan sistem ini, menurut Angela melibatkan pihak independen atau pihak eksternal akan berjalan lebih baik. Dalam hal ini eksternal sebagai penerima laporan dan mengelola di awal, sebab laporan belum tentu benar untuk mengurangi bias. Dengan eksternal, animo seseorang untuk melapor juga lebih tinggi.
Sementara pihak internal bertugas dalam melakukan investigasi, itupun hanya beberapa orang yang tahu. Dalam investigasipun, sebagian perusahaan ada yang menyerahkan ke eksternal.
Terkait sistem ini, RSM Indonesia menawarkan site up kepada perusahaan untuk memiliki kebijakan tersebut. RSM juga memiliki jasa aplikasi yang dapat dipergunakan oleh perusahaan secara gratis, aplikasi tersebut memberikan alamat web khusus untuk setiap client.
“Dalam hal ini client kami sudah cukup banyak, ada beberapa perusahaan dengan skala yang cukup besar, termasuk regulator ada juga,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement