Pengamat energi Komaidi Notonegoro mendesak DPR dan pemerintah segera merampungkan pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Komaidi, di Jakarta, Rabu (28/9/2016), mengemukakan revisi UU Migas sudah menjadi rekomendasi Pansus Hak Angket BBM DPR sejak delapan tahun lalu atau 2008.
"Tapi, sampai sekarang belum selesai juga revisinya," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.
Demikian pula, mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Fahmy Radhi mengatakan, pembahasan RUU Migas, yang merupakan UU inisiatif DPR, sudah mendesak disahkan.
"Salah satu alasan perlunya UU Migas baru ini dikarenakan banyak keputusan strategis yang tidak bisa dilakukan akibat belum ada payung hukumnya," ujar dosen UGM tersebut.
Bahkan, ia meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) jika dalam waktu dekat UU Migas belum bisa diundangkan.
"Tanpa UU atau perppu, upaya mencapai kedaulatan energi akan sia-sia belaka," katanya.
Komaidi menambahkan, substansi utama dari revisi RUU Migas adalah membenahi permasalahan kelembagaan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengamanatkan usaha migas harus dilakukan oleh BUMN.
Menurut dia, sesuai amanat MK itu, lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) harus berbentuk BUMN.
"Nantinya, apakah BUMN baru ini bergabung ke Pertamina atau jadi BMUN tersendiri, itu berpulang ke pemerintah dengan pertimbangan paling efisien dan baik bagi bangsa dan negara," ujarnya.
Fahmy juga mengatakan, lembaga SKK Migas sesungguhnya sudah tidak sesuai dengan putusan MK, yang telah membubarkannya.
"Peran dan fungsi SKK Migas sebaiknya dibentuk BUMN khusus yang mewakili negara dalam pengelolaan ladang migas," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PKB Syaikhul Islam Ali mengatakan, saat ini, pihaknya sedang memfinalisasi draf revisi RUU Migas tersebut.
"Saya setuju bahwa UU ini mendesak diperlukan, karena banyak pasalnya yang invalid setelah dibatalkan MK," katanya.
Menurut dia, melalui UU Migas baru diharapkan lahir BUMN, yang memegang hak pengusahaan migas secara penuh.
"Kami berharap BUMN itu adalah Pertamina," ujarnya.
Terkait kelembagaan, Syaikhul juga mengusulkan agar peran Pertamina dikembalikan sesuai UU Tahun 1971 tentang Pertambangan.
"Nantinya, Pertamina yang berkontrak dengan KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) dan bukan lagi pemerintah," ujarnya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement