Keuangan Inklusif, Solusi Hadapi Tantangan Ekonomi dan Ketimpangan
Pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) awal Oktober 2016 kemarin, terungkap bahwa sebanyak 189 negara anggota masih mengkhawatirkan pelemahan ekonomi global yang terus berlanjut hingga saat ini. Dalam pertemuan ini dijelaskan bahwa hal utama yang menyebabkan masih lemahnya perekonomian global adalah investasi ke negara berkembang yang menurun, rendahnya harga komoditas di pasar global serta ketidakpastian geopolitik global yang mempengaruhi kepercayaan pasar.
Berbagai tantangan tersebut membuat bank dunia maupun IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 menjadi masing-masing 2,4% (lebih rendah 0,5% dari proyeksi semula) dan 3,1% (lebih rendah 0,1% dari proyeksi semula). Sementara pada tahun 2017 diperkirakan pertumbuhan ekonomi global berkisar 2,8%-3,4%. Imbasnya pelemahan ini juga menghantam pertumbuhan ekonomi domestik, apalagi rendahnya harga komoditas global membuat ekspor komoditas Indonesia seakan lemah 'syahwat.'
Makanya tak heran pemerintah hanya berani menargetkan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2016 mencapai 5,2 persen sebagaimana tercantum dalam APBNP 2016. Artinya angka ini masih stagnan bila dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dua tahun terakhir yang masih berkutat di angka 5 persen. Padahal pada 2012 Pertumbuhan ekonomi domestik begitu berjaya dengan bertengger di angka 6,33 persen.
Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad, hal ini perlu direspon segera, karena penurunan pertumbuhan ekonomi ini tidak bisa mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati pelemahan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dampaknya juga terasa di industri keuangan nasional karena daya beli yang menurun sehingga permintaan kredit pun jadi lesu.
"Terlalu lama pertumbuhan ekonomi yang rendah, hanya akan menguntungkan beberapa pihak, likuid tentu saja mereka yang kuasai resources modal. Saya pikir ini perlu direspons," ujar Muliaman di Jakarta, Kamis (13/10/2016).
Apa yang kemudian direspons untuk menjawab ini? Muliaman menegaskan, salah satunya adalah membuka akses layanan keuangan yang lebih besar lagi bagi masyarakat agar pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas dan akses terhadap produk dan jasa keuangan lebih baik lagi.
Namun, luasnya wilayah, kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau dan rendahnya indeks keuangan inklusif menyisakan pekerjaan rumah yang berat untuk meningkatkan inklusi keuangan tanah air yang masih sangat rendah. Tercatat indeks keuangan inklusif Indonesia baru berada dikisaran 36 persen, jauh lebih rendah bila dibandingkan India (53%), Thailand (78%), dan Malaysia (81%).
Sementara, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) yang dilaksanakan oleh pada 2013 menyebutkan, tingkat literasi keuangan masyarakat baru sebesar 21,84% dengan utilitas baru mencapai 59,74%. Oleh karena itu, OJK tidak bisa bekerja sendirian, harus ada aksi nyata dari pemerintah, kementerian terkait dan lembaga keuangan untuk ambil bagian agar seluruh masyarakat memiliki akses keuangan ke sektor keuangan formal.
Bak gayung bersambut, hal ini langsung direspon Presiden RI Joko Widodo dengan mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menetapkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada awal September 2016 lalu. Perpres Nomor 82 Tahun 2016 ini menjadi pedoman langkah-langkah strategis kementerian/lembaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perpres ini juga menyebutkan, dalam rangka pelaksanaan SNKI dibentuk Dewan Nasional Keuangan Inklusif (Dewan Nasional), yang mempunyai tugas melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan SNKI, mengarahkan langkah-langkah dan kebijakan untuk penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan SNKI, dan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan SNKI.
Dalam Dewan Nasional, Presiden Joko Widodo langsung bertindak sebagai ketua dengan ketua harian Menko Perekonomian, Wakil Ketua I Gubernur Bank Indonesia dan Wakil Ketua II Ketua Dewan Komisioner OJK. Sementara anggotanya meliputi Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menko bidang Politik Hukum dan Keamanan; Menko bidang Kemaritiman; Menteri Sekretaris Negara; Menteri Keuangan; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; Menteri Dalam Negeri; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN; Menteri Komunikasi dan Informatika; Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Menteri Sosial; Menteri Hukum dan HAM; dan Sekretaris Kabinet.
"Menurut saya, beberapa bulan yang sudah dikerjakan sejalan karena presiden sudah tandatangani pembentukan komite nasional keuangan inklusif dipimpin Menko Perekonomian, wakilnya saya dan Gubernur BI. Dan ada Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait sebagai anggota," sebut Muliaman.
Sementara Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, melalui SNKI pemerintah bertekad meningkatkan Indeks Keuangan Inklusif yang pada 2014 baru mencapai 36% menjadi 75% pada 2019. "Ini memang target yang cukup ambisius," ujar dia saat memimpin rapat koordinasi terkait SNKI belum lama ini.
Untuk mencapai target 75 persen pada 2019 itu, pemerintah menetapkan lima pilar sebagai penyangga SNKI. Yang pertama adalah edukasi keuangan yang melibatkan OJK, pemerintah dan BI. Kedua, hak properti masyarakat (public property rights).
"Paling utama dari pilar ini adalah sertifikasi tanah rakyat dengan backbone Kementerian ATR/BPN," ujar Darmin.
Pilar ketiga adalah fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan yang akan lebih banyak dijalankan OJK. Keempat, layanan keuangan pada sektor pemerintah. Di sini, bantuan sosial akan dikembangkan melalui keuangan inklusif. Transformasi subsidi dari pemerintah juga akan masuk melalui pilar ini dengan backbone Kementerian Sosial dan BI. Pilar terakhir berkaitan dengan perlindungan konsumen melalui kerjasama OJK, BI, dan pemerintah.
Terbitnya perpres SNKI dan terbentuknya Dewan Nasional Keuangan Inklusif menjadi pelecut semangat regulator yang memang telah bertekad untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan sejak OJK didirikan.
"OJK mendukung beragam upaya Lembaga Jasa Keuangan (LJK) guna meningkatkan inklusi keuangan nasional melalui berbagai inovasi keuangan seperti perkembangan maupun insentif aneka produk dan layanan keuangan yang tersedia dan mudah diakses untuk masyarakat," kata Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kusumaningtuti S Soetiono.
Kegiatan keuangan inklusif OJK akan menyasar pada kelompok masyarakat yang belum terpenuhi oleh layanan keuangan formal yaitu masyarakat berpendapatan rendah, pelaku usaha mikro dan kecil, serta masyarakat dari lintas kelompok di antaranya pekerja migran, wanita, kelompok masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial, masyarakat di daerah tertinggal, dan juga kelompok pelajar.
Dan sebagai bentuk kerja nyata regulator dalam mendukung perpres tersebut, pihaknya telah mengimplementasikan berbagai kegiatan inklusi keuangan yang meliputi Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai), Simpanan Pelajar (SimPel/SimPel iB), asuransi mikro, Layanan Keuangan Mikro (Laku Mikro) serta berbagai program peningkatan akses keuangan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Asal tahu saja, hingga September 2016, OJK telah mengukuhkan TPAKD di 27 daerah. Rencananya hingga akhir tahun sebanyak 35 daerah akan memiliki TPAKD yang berfungsi untuk mencari solusi dan hambatan masyarakat dalam mengakses produk dan jasa keuangan. Sementara total agen Laku Pandai dari 13 bank peserta Laku pandai sebanyak 104.700 agen di seluruh Indonesia dan nasabah tabungannya 1.626.068 nasabah dengan total nilai tabungan Rp63,7 miliar.
Selain itu, untuk meningkatkan budaya menabung, Kusumaningtuti mengungkapkan, pihaknya mendorong Gerakan Nasional Menabung (GNM) dengan cakupan yang lebih luas.
"Pelaksanaan GNM itu meliputi industri Perbankan (Menabung di Simpel/ Simpel iB), Pasar Modal (Yuk Nabung Saham dan Ayo Investasi di Reksa Dana), Pergadaian (Ayo Menabung Emas), dan Dana Pensiun (Menabung untuk Masa Depan)," terang Kusumaningtuti.
Dengan semakin hilangnya hambatan dan terbukanya akses keuangan diharapkan dana masyarakat akan semakin besar terkumpul di sektor keuangan formal, sehingga dapat menggenjot geliat perekonomian melalui fungsi intermediasi lembaga jasa keuangan. Ujung-ujungnya ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan pengurangan ketimpangan pendapatan masyarakat.
"Inilah pentingnya financial inclusion. Dengan akses keuangan yang lebih besar kita bisa merespons tantangan yang ada sehingga kita bisa memanfaatkan pasar kita yang besar untuk jadi lokomotif industri nasional. Ini jadi concern karena untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan," tutup Muliaman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement