Presiden Direktur Japan External Trade Organization (JETRO) Jakarta Daiki Kasugahara menilai daya tarik kawasan Batam untuk kegiatan investasi belakangan semakin menurun.
Padahal, kawasan Batam yang ditetapkan sebagai kawasan strategis untuk kegiatan ekonomi melalui status Free Trade Zone (FTZ) itu tadinya banyak diminati investor, termasuk perusahaan-perusahaan Jepang.
"Pada 1990an, Batam mendapatkan perhatian sebagai basis ekspor, makanya banyak yang masuk ke sana (Batam). Namun akhir-akhir ini dalam memilih tujuan investasi yang optimal, daya tarik Batam semakin menurun," kata Kasugahara dalam Forum Investasi Jepang di Kantor BKPM Jakarta, Senin (24/10/2016).
Menurut dia, Batam punya potensi besar untuk memainkan peran sebagai pintu gerbang perdagangan Indonesia di kawasan ASEAN.
Letak Batam yang hanya 30 menit dari hub perdagangan internasional Singapura sangat strategis untuk dimanfaatkan.
Terlebih, setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di mana Indonesia harus meningkatkan daya saing untuk berkompetisi dengan negara lain.
"Kalau Batam jadi pusat 'gateway' (pintu gerbang) dan memperbaiki lingkungan bisnis di sana, pasti Batam akan berkembang. Maka hubungan dengan Jepang akan lebih luas dan dalam," ujarnya.
Deputi Pelayanan Umum Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) Gusmardi Bustami mengakui daya tarik Batam dalam beberapa waktu terakhir memang terus menurun. Menurut dia, hal itu disebabkan oleh perizinan yang sulit dan lama.
Oleh karena itu, instansi tersebut kini menggunakan layanan izin investasi tiga jam dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menarik kembali para investor.
Khusus di Batam, layanan tersebut dapat diakses oleh perusahaan yang berinvestasi minimal Rp50 miliar atau menyerap minimal 300 tenaga kerja.
"Jadi kalau Anda investasi di sini bisa pakai layanan 3 jam, asal investasinya di atas Rp50 miliar atau menggunakan 300 tenaga kerja. Saya jamin dapat," ujarnya.
Gusmardi menambahkan, pihaknya juga mengusulkan adanya tambahan insentif lain untuk menarik investor berinvestasi di Batam.
Misalnya agar barang produksi perusahaan tertentu bisa masuk ke Indonesia dengan dibebankan bea masuk dengan persentase tertentu.
"Batam ini kan di luar daerah pabean. Jadi kalau barang dibuat di luar pabean, masuk wilayah pabean akan kena pajak impor. Sementara kalau Indonesia punya perjanjian perdagangan bebas dengan China, maka dari China masuk ke Indonesia tidak bayar bea. Kita inginnya, bisa saja ini produk diproduksi di Batam, tapi sekian persen saja yang bisa masuk (ke Indonesia) tanpa bea masuk," jelasnya.
Menurut Gusmardi, Batam sudah bebas bea impor, PPN impor, PPNBM, cukai, namun hal itu masih kurang agresif bagi investor.
Terlebih saat ini ada banyak perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara.
Ia juga mengaku Batam sudah sangat terlambat untuk memberikan fasilitas insentif bagi para investor karena negara lain telah lebih dulu menawarkan berbagai kemudahan.
"Vietnam juga ada 'free trade zone', itu atraktif sekali perpajakannya, kepastian hukumnya, arahnya jelas dan infrastrukturnya bagus. Terus terang Batam sangat terlambat. Sejak tahun 1970an dibangun dan negara lain belajar dari kita, tapi kita justru kalah bersaing," ungkapnya. (ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Advertisement