Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintah untuk melanjutkan usulan moratorium Ujian Nasional (UN).
"Kami sangat menyayangkan pernyataan Wapres Jusuf Kalla dan menyerukan Presiden Jokowi mendukung Mendikbud untuk mematuhi keputusan Mahkamah Agung tentang UN yang sudah inkrah sejak 2009 mengenai moratorium UN," kata Sekjen FSGI, Retno Listyarti, di Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Usulan moratorium sudah dilakukan sejak lama oleh FSGI, melalui perjuangan yang panjang bertahun-tahun diluar Pengadilan dengan cara berdialog dengan lembaga eksekutif di era Mendikbud M Nuh, legislatif, dan juga perjuangan melalui pengadilan.
"Sinyal adanya niat baik pemerintah melalui Kemdikbud yang mengakomodir aspirasi masyarakat untuk mengusulkan moratorium UN sangat dinantikan banyak pihak diantaranya peserta didik, pendidik, dan orang tua, yang merasakan kebijakan UN tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat," kata dia.
Retno menambahkan FSGI yang mewakili kelompok masyarakat menyambut gembira jika Presiden Jokowi melakukan moratorium UN.
Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla mengatakan UN tetap akan dilangsungkan pada tahun depan karena bertujuan untuk menjaga daya saing bangsa.
Retno mengatakan ada beberapa alasan UN harus dihentikan sementara. Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan seperti klaim Wapres JK, secara pedagogis UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering, kebijakan penilaian pendidikan sebaiknya diserahkan guru dan sekolah, sementara pemerintah punya tanggungjawab mengembangkan kapasitas guru dalam mengajar dan menilai, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan otentik.
Kedua, dengan standar pendidik minimal S1 (PP No 19/2005 pasal 29 ayat(1) dan belum terpenuhinya standar sarana prasarana pendidikan tidak mungkin dibuatkan soal UN yang berindikator sama di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, memaksakan diri menyelenggarakan UN dengan standar soal berindikator sama adalah perbuatan yang tidak berkeadilan sesuai ketentuan PP 19/2005 pasal 66 ayat(2) Keempat, sebagian besar guru Indonesia tidak bangga dengan hasil UN yang diraih anak didiknya karena mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antar siswa, soal bocor, terlalu banyak pihak berkentingan dengan hasil UN, sulit dipercaya, dan hal ini masuk pada kategori pelanggaran UN dilakukan tidak obyektif (sesuai ketentuan PP19/2005 pasal 66 ayat(2).
Kelima, hasil UN yang diharapkan adalah sebuah pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, tapi kenyataan yang didapat adalah pemetaan ketidakjujuran berbagai pihak sehingga inipun termasuk pada pelanggaran PP 19/2005 pasal 68 huruf a.
Keenam, sepanjang UN dilaksanakan dengan rantaian yang panjang dari pusat ke daerah maka sepanjang itu pula peluang kebocoran soal begitu besar dan penyebaran kunci jawaban antar siswa sulit dibendung seiring dengan kemajuan iptek sekarang ini.
Ketujuh, UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik PP 19/2005 pasal 68 huruf c berpotensi dan memberi peluang dan menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur, sehingga dalam masyarakat sudah berkembang pola pikir dan akan menjadi hukum kebiasaan berpendapat tentang UN menyatakan dihadapan kita hanya ada dua pilihan jujur tapi tidak lulus atau tidak jujur tapi lulus.
Kedelapan, melalui UN yang pelaksanaannya tidak obyektif, kompetensi lulusan diragukan maka biaya penyelenggaraan UN ratusan miliar yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sebanding dengan harapan kepastian pengukuran mutu, dan pencapaian tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement