Kondisi industri kelapa sawit yang tengah mengalami tekanan mendapat perhatian khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adalah Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo yang menyatakan komoditas kelapa sawit sangat strategis bagi Indonesia sehingga negara harus hadir menyelamatkan industri ini.
"Penerimaan negara dari kelapa sawit sebanyak US$20 miliar per tahun. Pendapatan itu jauh di atas minyak dan gas bumi. Kalau minyak dan gas bumi sudah ada badan yang mengatur, kenapa kelapa sawit tidak? Sawit menyerap banyak tenaga kerja sekitar 5,4 juta pekerja kalau mau dimatikan maka dari mana alternatif untuk menggantikan pendapatan negara tersebut?" katanya di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
Adapun, pada tahun 2014 nilai ekspor minyak sawit tercatat sebesar US$19.554 juta atau lebih besar dibandingkan nilai ekspor komoditas lain. Pada tahun 2014 nilai ekspor minyak mentah sebesar US$9.215, nilai ekspor gas US$17.180, dan ekspor tekstil senilai US$7.451.
Dengan tujuan menyelamatkan industri kelapa sawit yang pada akhirnya turut menstabilkan perekonomian nasional, Firman Soebagyo menginisiasi Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Ia mengatakan salah satu cara yang dituangkan dalam RUU untuk mengatasi persoalan di industri kelapa sawit adalah pembentukan lembaga atau badan khusus. Ditegaskan, selama ini badan yang mengatur industri perkelapasawitan terpencar di mana-mana sehingga menjadi tidak efektif.
"Ini seperti Malaysia punya Malaysia Palm Oil Board (MPOB)," katanya.
Perlu diketahui, Lembaga Minyak Sawit Malaysia (LMSM atau MPOB) merupakan badan yang bertanggungjawab merancang, menyelidik, dan membangunkan industri minyak sawit dan kelapa sawit di Malaysia. LMSM terletak di bawah Kementerian Perusahaan Perladangan dan Komoditas Malaysia.
Lembaga Minyak Sawit Malaysia didirikan pada 1 Mei 2000 yang merupakan hasil gabungan Institut Penyelidikan Minyak Sawit Malaysia (PORIM) dengan Lembaga Pendaftaran dan Pelesenan Minyak Kelapa Sawit (PORLA). PORIM sendiri telah didirikan pada awal tahun 1979 di bawah Kementerian Perusahaan Utama Malaysia untuk merancang dan melaksanakan penyelidikan berkaitan dengan minyak sawit, sedangkan PORLA bertugas untuk melakukan pemasaran dan pengawalan minyak sawit.
Firman tidak merasa malu jika dalam pembentukan badan khusus kelapa sawit ini akan meniru model milik Malaysia. Ia mengakui bahwa pada saat ini tata kelola industri kelapa sawit Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga. Jika pada masa lalu Malaysia menimba ilmu dari Indonesia, imbuhnya, maka tidak ada salahnya jika sekarang Indonesia yang belajar ke Malaysia.
"Kemudian kita tahu negara kedua penghasil sawit itu Malaysia dan mereka lebih awal berkembang dibanding Indonesia. Mereka sudah mengatur industri perkelapasawitan secara khusus karena mereka menganggap industri sawit penting. Malaysia sudah rapi bikin UU, lembaganya, badannya, dan kita sudah tertinggal dan kalau kita tidak segera bertindak maka kita bakal jauh tertinggal dari mereka," sebutnya.
Direktur Eksekutif Gapki M Fadhil Hasan mengatakan pihaknya mendukung penuh rencana pembentukan badan pengelola perkelapasawitan. Ia memastikan bahwa apabila badan tersebut difungsikan dengan baik maka akan memberi manfaat yang besar.
Ia merinci beberapa fungsi badan pengelola perkelapasawitan, yakni melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha dan pekebun, mempercepat proses investasi dan pengembangan perkelapasawitan, memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit dari hulu ke hilir, mendukung sertifikasi kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan (ISPO), melakukan promosi dan diplomasi dagang terhadap hambatan dagang, serta menghimpun dan mengelola keuangan sawit bagi kepentingan pengembangan perkelapasawitan nasional.
"Adanya badan ini diharapkan bisa membantu, melindungi, dan mengatur dana bagi hasil bagi daerah-daerah yang selama ini banyak mengomplain pemerintah karena tidak dapat bagian yang proporsional," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kerja Penguatan ISPO Kemenko Perekonomian Diah Y Suradiredja memberikan beberapa catatan tentang pendirian badan pengelola perkelapasawitan. Ia mengatakan badan tersebut merupakan badan "swasta atau pelaku usaha" jika merujuk pada definisi tentang perkelapasawitan, yakni kegiatan pengelolaan kelapa sawit yang berkaitan dengan budidaya, pengelola hasil, dan perdagangan hasil kelapa sawit.
"Dengan belum jelasnya status legalitas pekebun swadaya (40 persen lebih dari pelaku usaha perkebunan sawit) maka unsur yang akan masuk dalam penyusunan rencana induk adalah korporasi besar dan tidak termasuk small holders. Alangkah anehnya jika rencana induk diserahkan kepada pelaku usaha atau akan dibentuk sebuah badan baru," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement