Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah RI Desak FSC Evaluasi '1994 Rule'

Pemerintah RI  Desak FSC Evaluasi '1994 Rule' Kredit Foto: Fsc.org
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah mendesak Forest Stewardship Council (FSC) segera melakukan evaluasi terhadap "1994 rule" agar sesuai dengan kondisi Indonesia.

"Karena aturan (1994 rule) ini menjadi hambatan terbesar bagi industri di Indonesia untuk bisa disertifikasi oleh FSC," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera, dalam pernyataan tertulis pada International Board Meeting FSC, di Yogyakarta, Selasa (7/2/2017).

FSC adalah organisasi nirlaba internasional yang memiliki wewenang memberikan sertifikasi produk kehutanan. Menurut Ida Bagus, peraturan FSC yang disebut "1994 rule" itu memiliki prinsip tidak akan mensertifikasi lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dikonversi setelah tahun 1994.

Padahal, tegasnya, sebagian besar HTI di Indonesia baru dibangun setelah 1994. "Maka itu, pemerintah berusaha membantu dengan mengusulkan ke FSC agar syarat deforestasi dalam 1994 rule itu diubah. Ini juga akan menunjang penetrasi FSC di Indonesia," kata Ida Bagus.

Di sisi lain, FSC pun menyadari usulan pemerintah tersebut memang perlu diperhatikan, mengingat hal ini menjadi persoalan besar bagi industri hasil hutan di Indonesia. Bahkan bagi perusahaan-perusahaan besar Indonesia, seperti APP dan APRIL, yang selama ini merasa sangat sulit disertifikasi di bawah peraturan tersebut.

Hartono Prabowo, perwakilan FSC untuk Indonesia, mengatakan lembaga nirlaba internasional yang memiliki wewenang memberikan sertifikasi produk hasil hutan ini memang sedang melakukan proses evaluasi terhadap aturan itu. "Kalau FSC hanya mengandalkan hutan alam saja, jelas sangat sulit bagi dunia bisnis untuk memenuhi permintaan itu," kata Hartono.

Evaluasi terhadap "1994 rule" juga menjadi upaya FSC untuk bersikap lebih adil. Menentukan standar dengan memerhatikan kondisi lokal, salah satunya di Indonesia, adalah cara bersikap adil. "Terlebih, saat ini FSC masih menggunakan standar global terhadap semua negara," kata Hartono.

Peluang Tinggi Sebelumnya, Direktur Jenderal Forest Stewardship Council (FSC) Kim Carstensen memastikan perusahaan-perusahaan berbasis hasil hutan asal Indonesia yang telah mengantongi SVLK berpeluang sangat tinggi memperoleh sertifikasi dari lembaganya. "Sebab, perusahaan tersebut tidak perlu memulai dari nol lagi dan dianggap telah mengerti standar-standar dalam manajemen hutan yang baik," kata Carstensen.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), menurut Carstensen, merupakan basis dasar bagi semua industri hasil hutan di Indonesia dalam memastikan legalitas bahan yang mereka ambil dari hutan. Terlebih, lanjutnya, untuk mendapatkan sertifikasi SVLK harus melalui proses pemeriksaan aspek legalitas yang sangat ketat. "Artinya mereka sudah mencatat sebuah langkah besar. Jadi, tak akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan sertifikasi FSC," ujarnya.

FSC memandang upaya-upaya para pelaku industri di Indonesia yang sudah mengikuti SVLK sebagai perkembangan yang sangat positif. Atas komitmen yang serius tersebut, FSC menyatakan siap membantu perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan akses pasar lebih luas lagi di forum global.

"Seperti di Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Sehingga mereka mudah untuk menjual produknya di sana," kata Carstensen. Di Eropa, FSC berbasis di Bonn, Jerman. Lembaga ini dipimpin oleh Dewan Direksi Internasional (International Board of Directors) beranggotakan 12 orang yang dipilih oleh seluruh anggota FSC. Mereka mewakili bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Dewan direksi FSC memiliki masa sidang tiga kali dalam setahun untuk memutuskan standar sertifikasi dan implementasinya. Pertemuan di Yogyakarta kali ini adalah sidang dewan direksi FSC yang ke-74. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: