Federal Reserve diperkirakan pasti akan menaikkan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat Fed Fund Rate pada pertemuan Federal Open Market Commitee (FOMC) pekan ini. Menurut data Bloomberg, probabilitas kenaikan itu sudah 100%. Saat ini FFR berada pada posisi 0,75%.
Kondisi perekonomian Amerika Serikat sudah membaik, tingkat pengangguran terus menurun, dan upah terus meningkat. Klaim pengangguran naik 20.000 pada pekan yang berakhir 4 Maret lalu menjadi 243.000.
Klaim pada pekan sebelumnya tercatat sebesar 223.000 merupakan terendah sejak 1973. Data tersebut menunjukkan pekan ke-105 secara berturut-turut angka klaim tetap berada di bawah 300.000. Data terbaru, pada akhir pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat mengumumkan data non-farm payrolls naik menjadi 235.000 pada Februari. Angka ini di atas perkiraan para analis yang sebesar 200.000 tetapi masih di bawah angka Januari yang sebesar 238.000.
Tingkat pengangguran 4,8% mendekati apa yang disebut sebagai full employment. Data-data ?tersebut menunjukkan pasar tenaga kerja yang sehat. Di sisi lain harga rumah juga sudah mencapai level sebelum krisis 2008. Purchasing manager index (PMI) pada Februari turun menjadi 53,8 dari 55,6, tetapi angka di atas 50 sudah menunjukkan tetap ada ekspansi.
"Ekspektasi Fed menaikkan bunga memicu kenaikan yield obligasi," kata Direktur Investor Relation & Chief Economist Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Optimisme perekonomian AS terus membaik juga terkait dengan target inflasi yang ditetapkan Fed. Personal consumption expenditures price indeks, ukuran inflasi yang dipakai Fed sudah mencapai 1,9% pada akhir Januari lalu dibandingkan dengan Januari sebelumnya. Fed menetapkan target 2% untuk inflasi.
Optimisme ini masih ditambah lagi dengan rencana pemerintahan baru Donald Trump yang berjanji akan memangkas pajak serta belanja infrastruktur sebesar US$1 triliun selama lima tahun ke depan. Perkembangan ekonomi AS akan membuat kurs dolar AS menguat terhadap mata uang lain termasuk rupiah.
Secara teoretis, kenaikan suku bunga akan membuat harga obligasi menurun atau yield obligasi meningkat. Kenaikan suku bunga FRR ini juga akan berimbas pada yield obligasi 10 tahun AS atau T-bond yang biasa dijadikan acuan.
Pekan lalu yield T-bond 10 tahun naik tiga basis poin menjadi 2,583% setelah sempat menyentuh 2,589% yang merupakan posisi tertinggi sejak 20 Desember. Kenaikan yield membuat harga obligasi menurun. Pergerakan yield obligasi AS juga mempengaruhi yield obligasi domestik.
Selisih antara yield obligasi AS dengan yield obligasi Indonesia sekitar 500 basis poin. Saat ini rata-rata yield untuk surat utang negara bertenor 10 tahun berada pada kisaran 7,64%.
Budi menjelaskan, secara global daya tarik obligasi negara akan menurun bila yield obligasi AS naik. Investor akan lebih memilih berinvestasi pada pasar negara maju. Salah satu faktor peluang yang dapat menarik investor asing adalah peluang Indonesia mendapatkan peningkatan peringkat Mei mendatang juga tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Dengan mengasumsikan pada akhir tahun yield obligasi AS 2,55%, kurs rupiah Rp13.500 per dolar AS, CDS Indonesia 150 dan yield SUN 10 tahun 7,9% dan rata-rata inflasi 5,64%, yield obligasi pemerintah masih menguntungkan.
"Kalau dengan berbagai alasan investor asing melepaskan obligasi domestik sehingga yield SUN jauh melambung hingga 8,5%, saya menyarankan investor domestik membelinya," kata Budi.
Kenaikan FRR tetap memberikan peluang kepada para investor domestik, khususnya pada pasar surat utang. Jika diasumsikan nilai tukar rupiah stabil di kisaran Rp13.300-13.600 per dolar AS sementara US T sebesar 2,75% dan tingkat inflasi 4%, maka estimasi yield pada akhir tahun diprediksi berada di level 7,25% dengan return investasi 10%-11%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement