Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Predatory Pricing Jadi Pemicu Konflik di Bisnis Angkutan

Predatory Pricing Jadi Pemicu Konflik di Bisnis Angkutan Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Pemberlakuan predatory pricing?(penetapan tarif sangat rendah) yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha transportasi online menjadi pemicu adanya konflik di bisnis angkutan.

Direktur Jenderal?Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar mengatakan bahwa berdasarkan catatan Kemenhub hampir 60 persen perusahaan transportasi konvesional sudah gulung tikar akibat tidak mampu bersaing dengan angkutan online dari sisi harga. Ia mengatakan beberapa supir angkutan konvensional?beralih ke taksi online, tapi banyak juga yang terpaksa?menganggur.

"Dua sisi ini harus kita lihat, bagaimana bisa menimbulkan suatu kesetaraan," katanya kepada wartawan di Bandung, Minggu (26/3/2017).

Untuk itu, dikatakan Hartanto, pemerintah menetapkan tarif batas atas dan batas bawah sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan transportasi berbadan hukum dengan penumpangnya.

"Pemberlakuan tarif atas dan tarif bawah ini akan melahirkan kesetaraan karena negara kita demokrasi yang pertumbuhan ekonominya berasal dari masyarakat," tuturnya.

Mengantisipasi timbulnya konflik, Kemenhub melakukan sosialisasi revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 di beberapa daerah seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Bandung. Ia menyampaikan beberapa daerah tersebut dinilai berpotensi terjadi konflik.

"Kenapa bekasi juga dilakukan sosialisasi karena jangan sampai sudah kondusif kecipratan daerah lain," ucapnya

Menurutnya, sosialisasi ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah setempat seperti gubernur, wali kota termasuk bupati dan dari pihak kepolisian pun menyampaikan hal yang sama.

"Sehingga apa yang terjadi di wilayahnya sudah dilakukan sosialisasi oleh kepala daerah masing-masing. Seperti yang dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, temasuk Sulawesi Selatan sudah dilakukan oleh kepala daerahnya masing-masing," paparnya.

Hartanto mengaku revisi PM No 32/2016 bukan baru dibuat setelag?terjadi permasalahan di bisnis transportasi tetapi kebijakan ini sudah diberlakuan sejak 1 Oktober 2016 lalu.

"Ketika diberlakukan kebijakan tersebut maka timbulah aksi unjuk rasa, kami pun mengadakan evaluasi terhadap kebijakan tersebut," katanya.

Menurutnya, keputusan dari Menteri Perhubungan untuk melanjutkan regulasi tersebut kemudian dikaji sehinga lahirlah tim yang terdiri dari pakar transportasi dan stakeholder sehingga lahirlah tiga prinsip yaitu keselamatan dan keamanan, kesetaraan, dan kebutuhan publik.

"Melihat tiga prinsip itu baru dilakukan revisi PM 32 itu," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: