Beberapa waktu silam publik dikejutkan dengan adanya konflik antara sopir transportasi konvensional dengan sopir transportasi berbasis online (daring) di beberapa daerah.
Konflik tersebut antara lain terjadi di Jakarta, Depok, Bogor, Bandung, Yogyakarta, serta Denpasar. Ironisnya, tak jarang bentrokan itu menyebabkan jatuhnya korban dan kerugian material dari kedua belah pihak.
Bentrokan yang terjadi kebanyakan akibat tidak senangnya para sopir konvensional atas kehadiran angkutan yang telah dibekali kecanggihan teknologi dalam pengoperasiannya itu. Mereka berpendapat kehadiran angkutan berbasis daring telah merampas sebagian rezekinya.
Akhir tahun 2015 adalah titik awal menjamurnya bisnis angkutan taksi berbasis aplikasi daring yang dimulai dengan hadirnya Uber di Indonesia pada tahun 2014.
Perusahaan asal Amerika Serikat ini sudah beroperasi di 57 negara di dunia. Eksistensi transportasi Uber di sejumlah negara juga kerap mendapat kecaman dari perusahaan penyedia jasa layanan transportasi reguler.
Melihat kesuksesan Uber, perusahaan serupa asal Malaysia, Grab, kemudian melirik Indonesia sebagai pangsa pasarnya. Bahkan Grab meluncurkan GrabBike sebagai penantang layanan ojeg (motor) daring Go-Jek yang lebih awal sukses meraih perhatian masyarakat.
Namun di medio awal 2016, berbagai konflik mulai muncul ke permukaan seperti aksi protes yang dilakukan sopir taksi reguler di Jakarta pada 22 maret 2016.
Ribuan taksi reguler tumpah ruah di jalanan protokol dan membuat Jakarta lumpuh. Bahkan terjadi aksi "sweeping" terhadap sopir taksi lainnya yang memilih untuk tetap beroperasi.
Rentetan protes terhadap transportasi berbasis daring di Ibu Kota terjadi pula di daerah-daerah lainnya, seperti di Depok, Bogor, dan yang masih hangat terjadi, pengerusakan mobil pribadi oleh sopir angkot karena diduga sebagai transportasi daring saat akan melakukan unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung.
Konflik tersebut membuat para pengemudi transportasi berbasis teknologi informasi (IT) kini dilanda kecemasan, takut hal buruk menimpa dirinya.
Hal tersebut dirasakan oleh salah satu pengemudi transportasi daring Uber di Kota Bandung, Rizki Pratama (27).
Pria yang menggantungkan hidupnya sebagai "driver" tersebut, pernah mengalami intimidasi dari sopir reguler.
Ia bercerita, saat dirinya menerima pesanan di sekitar kawasan Bandung Indah Plaza (BIP), sopir taksi yang biasa "mangkal" di daerah tersebut meneriakinya sebagai transportasi daring.
Namun beruntung ia langsung pergi saat mendengar teriakan sehingga tidak mengalami kekerasan fisik.
"Suka ada yang 'neriakin' online, lebih parah di Bandara (Husein Sastra Negara) yang kena (kekerasan fisik) banyak, sebelum ada perjanjian. Itu udah kesekian kalinya di Bandara. Temen saya satu grup mengalami pemukulan, bagian mobil ada yang penyok," kata dia.
Akibat beberapa kejadian yang dialami serta teman-temannya, membuat pergerakan mereka tidak terlalu leluasa seperti saat sebelum banyak menjamurnya layanan jasa transportasi daring.
"Sehari bisa dapet dari pagi minimum Rp100 ribu bersihnya. Sekarang seminggu hanya dapat Rp600 ribu sampai Rp800 ribu maksimal itu pun udah dengan biaya bensin dan makan," kata dia.
Taksi Reguler Hal berbeda dirasakan salah satu sopir taksi reguler TaksiCab, Nono Suherman (60). Semenjak hadirnya taksi daring ia mengaku terus mengalami penurunan pendapatan. Jika biasanya ia mendapat Rp400 ribu dalam sehari, namun beberapa hari ke belakang, tak seperakpun ia sisihkan untuk keperluan di dapur.
"Minim sekali, kemarin dan hari ini saya belum narik dari pagi, semenjak ada Uber dan GrabCar mati total," kata Nono saat ditemui di Terminal Leuwi Panjang.
Bahkan diakuinya, ia sempat tidak pulang ke rumah dan lebih memilih tidur di dalam mobil untuk menghemat pengeluaran. Tak jarang ia pun mendapat omelan dari sang istri karena tidak membawa nafkah yang bisa menutupi kesehariannya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk segera menertibkan atau membuat regulasi yang jelas terkait taksi berbasis aplikasi. Sebab menurutnya, kehadirannya tidak sesuai dengan Undang-undang terkait angkutan yang mengharuskan adanya uji KIR, berplat kuning, dan penentuan tarif atas dan bawah.
"Jadi ongkos semakin murah, dan kami lah yang menjerit karena penumpang lebih memilih yang murah," kata dia.
Peraturan Menhub Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
Dalam revisi tersebut, pemerintah menekankan 11 poin penting yang menjadi acuan atau payung hukum bagi taksi berbasis aplikasi.
Ke-11 poin tersebut meliputi jenis angkutan sewa, kapasitas silinder kendaraan, batas tarif angkutan sewa khusus, kuota jumlah angkutan sewa khusus, kewajiban STNK berbadan hukum, pengujian berkala, pool, bengkel, pajak, akses dashboard, serta pemberian sanksi.
Revisi tersebut akan ditetapkan mulai per tanggal 1 April 2017, namun pemerintah memberikan transisi waktu selama tiga bulan kepada pengusaha taksi berbasis daring untuk melengkapi 11 poin tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto menuturkan revisi Permenhub 32/2016 tersebut menerapkan tiga prinsip yakni keamanan dan kenyamanan transportasi, kesetaraan dan keadilan, serta berdasarkan kebutuhan publik.
"Dengan adanya revisi ini, pemerintah berupaya mengatasi adanya gesekan antara pengemudi taksi konvensional dan online," kata Pudji saat menggelar sosialisasi revisi Permenhub di Gedung Sate, Kota Bandung pada Minggu (26/3).
Pudji menuturkan, dua poin dalam revisi Permenhub yakni kuota dan tarif seluruhnya dibebankan kepada pemerintah daerah masing-masing. Sebab, yang mengetahui kondisi di lapangan hanyalah Pemda. Namun pemerintah pusat hanya bisa memberikan formulasi mengenai perhitungannya.
"Kita tidak mengatur tarif batasan. Paling tidak kita memberikan formulasi untuk tarif bawah dan atas. Nanti ada petunjuk dari Kemendagri, Dirjen Produk Hukum Daerah, agar rumusnya sama," ujar dia.
Pro-Kontra Revisi Permenhub No.32/2016 yang digadang-gadang sebagai regulasi yang dapat mengakomodasi masalah taksi konvensional dan berbasis daring menuai pro dan kontra dari kedua belah pihak.
Bagi sebagian pengemudi taksi daring, pengaturan kuota dirasa perlu untuk membatasi jumlah para pelaku yang ingin terjun dalam dunia jasa tersebut. Sebab, bagi sebagian orang, menjadi sopir taksi berbasis aplikasi hanya menjadi mata pencaharian sampingan selain pekerjaan tetapnya.
Sedangkan bagi beberapa lainnya, mereka sangat menggantungkan hidupnya di bisnis tersebut, sehingga kehadiran moda transportasi berbasis online tidak lagi se-ekslusif seperti di awal kemunculannya dan hanya mengangkut orang-orang tertentu saja.
"Jadi dulu di Bandung eksklusif. Jadi perusahaan seharusnya lebih perketat seleksinya. Kita dulu mau masuk Uber sulit banget karena eksklusif banget. Sekarang orang gampang masuk tinggal nyewa mobil rental," kata salah satu pengemudi taksi Uber lainna, Indra Permana (32) saat ditemui di Bandung.
Untuk masalah penetapan tarif, ia pun tak begitu mempermasalahkannya, sebab pilihan berada di tangan konsumen yang ingin merasakan kenyamanan seperti mobil milik sendiri. Namun, ia tidak setuju jika balik nama mobil pribadi harus berubah menjadi atas nama perusahaan.
Adapun desakan dari sopir konvensional yang meminta agar selama masa transisi seluruh angkutan daring harus berhenti beroperasi, ia menolak. Sebab menurutnya hal itu sama saja dengan membunuh secara perlahan pendapatannya.
Namun bagi sopir Taksi Putra, Udin Syamsudin (60), Revisi Permenhub tersebut harus segera diberlakukan, dan jangan dibiarkan terkatung-katung.
Jika memang harus dilakukan transisi, ia meminta agar pemerintah untuk terus mengawasi sebelas syarat yang mesti dipenuhi oleh pengusaha angkutan daring.
Diakuinya, ia tidak mempermasalahkan dengan adanya transportasi yang mengandalkan kecanggihan tersebut, namun dengan catatan, mereka mengikuti seluruh ketetapan angkutan trayek.
Jika nantinya pengusaha tidak dapat melengkapi persyaratan tersebut, maka pemerintah dengan kewenangannya mesti mencabut izin operasi.
"Sebaiknya pemerintah lebih memahami kami sebagai rakyat yang tidak memiliki kekayaan seperti mereka (sopir taksi daring) yang pakai mobil pribadi buat mengangkut penumpang. Kami juga tidak mempermasalahkan asal sama kayak trayek ada KIR, platnya kuning, kalau tidak bisa ya sudah diberhentikan saja," kata dia. (Ant/Asep Firmansyah)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement