Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mana yang Benar, DPD Memalukan atau Membanggakankah?

Mana yang Benar, DPD Memalukan atau Membanggakankah? Kredit Foto: Ferry Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah pertanyaan pantas diajukan oleh ratusan juta orang Indonesia kepada sekitar 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah alias DPD setelah menonton perkelahian fisik diantara beberapa wakil rakyat itu di kompleks Parlemen di Jakarta, Senin, 3 April 2017.

Puluhan juta rakyat Indonesia menyaksikan terutama lewat televisi ada adegan yang sangat memalukan alias mencoreng muka parlemen ketika ada aksi dorong mendorong diantara anggota DPD. Saat itu, ketika ada anggota DPD sedang berada di mimbar, kemudian ada yang mendatanginya namun tiba-tiba anggota yang belakangan mendatangi mimbar itu dipaksa dengan aksi kekerasan untuk meninggalkan mimbar resmi itu.

Kenapa sih harus ada adegan yang sangat memalukan itu? Rakyat perlu melihat ke kejadian beberapa bulan lalu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mendatangi rumah KPK Irman Gusman saat didatangi sebuah pengusaha yang ingin meminta "bantuan" Irman yang berasal dari daerah pemilihan Sumatera Barat agar pengusaha itu bisa mendapat kuota dari Perusahaan Umum (Perum) Bulog untu mengimpor gula pasir.

Saat penyidik menggrebek rumah Irman Gusman, maka "dipergoki" ada uang Rp100 juta yang diterima Irman dari sang pengusaha sebagai ucapan" terima kasih" atas bantuannya untuk mendapat kuota impor gula. Akhirnya gara- gara uang yang" hanya" Rp100 juta itu, maka sang ketua lembaga negara ini harus terjungkal dari kursi empuknya padahal tanpa menerima uang Rp100 juta itu, Irman akan tetap bisa duduk dengan manis di kursi empuknya.

Kemudian akhirnya para anggota DPD itu memilih Saleh sebagai Ketua DPD yang baru menggantikan Irman Gusman.

Namun ternyata persoalan belum juga usai atau tuntas karena kemudian ide agar masa jabatan ketua DPD benar-benar "disunat" atau dibatasi dari lima tahun menjadi hanya setengah tahun.

Rakyat tentu berhak bertanya kepada wakil- wakilmya itu yakni kenapa masa tugas pimpinan DPD harus dipersingkat, dan apa dasar hukumnya? Pertanyaan ini sangat layak diajukan karena DPD adalah salah satu lembaga negara selain lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat serta Badan Pemeriksa Keuangan yang selama ini belum pernah diutak- atik yang selama ini memang diatur juga semuanya lima tahun.

Kalau Undang- Undang Dasar 1945 secara tegas sudah menetapkan bahwa masa tugas semua lembaga negara adalah lima tahun, maka kenapa kemudian segelintir anggota bersikeras atau bersikukuh bahwa jabatan pimpinan DPD tidaklah identik dengan masa jabatan lembaga itu selama lima tahun.

Masyarakat berhak bertanya kepada para anggota DPD yakni kalau mereka berhasil "menyunat" masa jabatan pimpinan lembaganya, maka beranikah mereka juga untuk mengutak-atik jabatan presiden dan wakil presiden yang kini dijabat oleh Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla ? Hanya niat berkuasa? Setelah Muhammad Saleh menjadi Ketua DPD, maka kemudian muncul wacana agar pada awal April 2017, diselenggarakan pemilihan ulang pimpinan DPD, Dalih "pokok atau utama" kocok ulang itu adalah jika dahulu DPD dipimpin wakil rakyat dari wilayah Indonesia barat maka kini telah tiba saatnya DPD dipimpin oleh anggota dari wilayah Indonesia timur dan banyak sekali orang yang sudah tahu siapa tokoh yang menjadi "unggulan" untuk masa bakti 2,5 tahun mendatang.

Sudah bisa diperkirakan bahwa posisi Muhmmad Saleh itu hanya sekadar "ban serep" sebelum tokoh nasional itu akhirnya benar- benar bisa mewujudkan ambisinya untuk menjadi ketua sebuah lembaga negara, apalagi dari segi ekonomi hartanya sudah "sangat "setumpuk" karena memiliki latar belakang atau background sebaga pengusaha mulai dari tingkat daerah hingga sekarang tokoh bisnis nasional.

Jadi rakyat, patut menduga bahwa pergantian jabatan ketua DPD ini bukan karena kasus Irman Gusman melainkan karena ada anggota DPD yang sangat ambisius untuk " mengendalikan" lembaga negara itu.

Anggota DPD Ahmad Nawardi yang terlibat baku fisik pada hari Senin itu mengungkapkan dalih yang dipegang oleh dirinya dan puluhan wakil rakyat lainnya antara lain berkata "kalau lima tahun ada kecenderungan bertindak sewenang- wenang".

Para mahasiswa yang belajar politik pada umumnya di semester pertama sudah mengenal teori"power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" atau kekuasaaan cenderung melakukan korupsi dan kekuasaan yang yang mutlak cenderung korupsi".

Jadi, patut diduga keras Nawardi dan sobat-sobatnya memegang ajaran itu.

Apabila Ahmad Nawardi dan kelompoknya bersikeras bersikap seperti itu, maka beranikah mereka menyatakan atau mengusulkan agar jabatan presiden dan wakil presiden yang sekarang dan pada masa mendatang juga hanya 2,5 tahun dan kemudian dicopot? Beranikah omongan seperti itu juga dipaksakan kepada pimpinan MK, MA, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR serta MK? Salah satu pertanyaan penting yang pantas sekali diajukan kepada Ahmad Nawardi adalah apakah mereka ini ingin "mengganjal" atau menghalangi tampilnya Ratu Kanjeng Hemas -- istri Sri Sultan Hamengku Buwono ke X ?-- untuk menjadi ketua DPD? Sampai detik ini, belum pernah ada wanita yang menjadi ketua DPD.

Ataukah "kelompok " berniat menghalangi Farouk Muhammad-- seorang purnawirawan jenderal polisi-- untuk juga menjadi pimpinan DPD ? Pertempuran memperebutkan posisi ketua DPD ini menarik perhatian banyak pengamat politik, politisi karena jika dahulu ada peraturan bahwa anggota DPD itu tidak boleh menjadi anggota partai politik yang mana pun juga maka kini adalah sebuah kenyataan bahwa sekitar 70 anggota DPD telah menjadi anggota satu partai politik yang belum terlalu "tenar".

Selain itu, ada sebuah pertanyaan bahwa sejak dimpin Ginandjar Kartasasmita, Irman Gusman, Saleh, lembaga ini belum menunjukkan kinerja yang memenuhi selera atau kebutuhan rakyat. Mereka kini lebih sering menuntut agar posisinya benar- benar setara dengan DPR.

Jadi setelah melihat kinerja DPD selama in, maka kepada rakyat bisa dilakukan referendum dengan satu pertanyaan saja yakni masih diperlukankah DPD atau tidak? Kalau rakyat bilang" TIDAK" maka DPD perlu dibubarkan. Tapi bila mayoritas atau bahkan seluruh rakyat bilang" YA" maka DPD memang harus dipertahankan bahkan diperkuat posisinya secara politis dan hukum sehingga mesti diperkokoh atau "diberi gizi" agar benar- benar kokoh sehingga kinerjanya benar- benar memenuhi kebutuhan rakyat.

Wahai anggota DPD, alternatif manakah yang ingin atau bahkan harus dipilih ? Janganlah rakyat dibiarkan semakin muak tapi bahagiakanlah masyarakat. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: