Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

BCA Usulkan Porsi Pinjaman Valas Perbankan Harus Dibatasi

BCA Usulkan Porsi Pinjaman Valas Perbankan Harus Dibatasi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

PT Bank Central Asia mengusulkan kepada regulator perbankan agar pinjaman bank dalam bentuk valuta asing dibatasi porsinya sesuai kemampuan bank. Hal ini untuk meminimalkan risiko nilai tukar (exchange rate) yang dapat berdampak pada membengkaknya bunga pinjaman valas, serta menimbulkan krisis keuangan.

Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa perubahan exchange rate apalagi pada saat krisis amat sulit dikontrol, sehingga dapat berdampak negatif bagi pengusaha yang melakukan pinjaman valas. "Yang paling berat sekali ialah exchange rate, dimana pinjaman dolar itu bisa sampai 4 kali lipat. Jadi bayangkan bagaimana pengusaha bisa membayar bunga atau cicilan kalau hal itu terjadi," ujar Jahja saat ditemui di gedung BI, Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Jahja meyakini dan percaya bahwa Bank Indonesia (BI) telah melakukan pengawalan dengan baik bagi yang ingin melakukan pinjaman valas. Namun, menurutnya tak ada yang dapat mencegah krisis dan gejolak exchange rate.
"Yang bisa kita kontrol adalah neraca pinjaman bank. Memang di dalam neraca sudah diatur PDN (posisi devisa neto), tetapi jangan lupa teori PDN balance belum tentu dari risiko balance. Kenapa? Karena pada saat exchange rate naik, liabilitis harus kita akui sebagai loan, tetapi di aset side terutama di pinjaman korporasi mereka bisa mengatakan tidak mampu bayar karena induknya sudah naik dua kali lipat misalnya atau bunganya sky rocketing. Sehingga jaminan jadi tidak cukup," jelas Jahja.
Oleh sebab itu, untuk mencegah problem perbankan di Indonesia khususnya bank berlabel sistemik maka porsi pinjaman dolar (valas) harus dibatasi. Persentasi batasan bisa berasal dari total aset bank tersebut atau dari total pinjaman.
"Sehingga jika terjadi krisis, terjadi gejolak, kerugian karena exchange rate pinjaman valas ini bisa terbatas, bisa diukur," tandas Jahja.
Selain itu, Jahja mengusulkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) agar plafon jaminan tidak hanya diberikan kepada debitur yang nominal simpanannya maksimal Rp2 miliar. Menurutnya debitur yang memiliki simpanan besar atau diatas Rp2 miliar ?juga perlu diberikan plafon.
"Jadi, kuncinya meskipun LPS sudah membuat batasan satu plafon Rp2 miliar untuk mncegah krisis terjadi, maka pemegang dana besar pun harus diberikan plafon misalnya sampai Rp5 miliar, Rp10 miliar, Rp20 miliar, dan Rp100 miliar," tandas Jahja.
Dengan patokan tersebut, bila terjadi krisis debitur tidak perlu khawatir atau tetap menyimpan dananya dan bank tidak terpaksa menaikkan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang bisa menyebabkan naiknya suku bunga pinjaman.
"Jika DPK tidak naik tidak ada alasan bank naikkan suku bunga pinjaman, sehingga pinjaman akan terkendali meskipun perusahaan mengalami kesulitan. Saya yakin perusahaan yang baik kalau gejolak atau krisis terjadi 1 sampai 3 bulan mereka akan bertahan, perusahaan besar tidak akan bangkrut tetapi mereka harus dicegah jangan bayar bunga sampai sky rocketing, jangan juga exchange rate?terus menerus," tutup Jahja

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi

Advertisement

Bagikan Artikel: