Ketika Skandal Fraud Akuntansi Menerpa British Telecom dan PwC
Oleh: Diaz Priantara, Profesional dalam bidang Assurance, Accounting, Tax, GRC, Anti Fraud Practitioners
Fraud tidak pandang bulu. Perusahaan besar multinasional pun ikut mengalami fraud. Sejak awal triwulan kedua 2017 telah muncul isu terjadinya fraud akuntansi di British Telecom. Perusahaan raksasa Inggris ini mengalami fraud akuntansi di salah satu lini usahanya di Italia.
Sebagaimana skandal fraud akuntansi lainnya, fraud di British Telecom berdampak kepada akuntan publiknya. Tidak tanggung-tanggung, kali ini yang terkena dampaknya adalah Price Waterhouse Coopers (PwC) yang merupakan kantor akuntan publik ternama di dunia dan termasuk the bigfour.
Tentu saja dampak fraud akuntansi ini bukan saja menyebabkan reputasi kantor akuntan publik tersebut tercemar, namun ikut mencoreng profesi akuntan publik. Padahal eksistensi akuntan publik sangat tergantung pada kepercayaan publik kepada reputasi profesional akuntan publik. British Telecom segera mengganti PwC dengan KPMG. KPMG juga merupakan the bigfour.
Yang mengejutkan adalah relasi PwC dengan British Telecom telah berlangsung sangat lama, yaitu 33 tahun sejak British Telecom diprivatisasi 33 tahun yang lalu. Board of Director British Telecom merasa tidak puas atas kegagalan PwC mendeteksi fraud akuntansi di Italia.
Fraud akuntansi ini gagal dideteksi oleh PwC. Justru fraud berhasil dideteksi oleh pelapor pengaduan (whistleblower) yang dilanjutkan dengan akuntansi forensik oleh KPMG. Modus fraud akuntansi yang dilakukan British Telecom di Italia sebenarnya relatif sederhana dan banyak dibahas di literatur kuliah auditing namun banyak auditor gagal mendeteksinya yakni melakukan inflasi (peningkatan) atas laba perusahaan selama beberapa tahun dengan cara tidak wajar melalu kerja sama koruptif dengan klien-klien perusahaan dan jasa keuangan.
Modusnya adalah membesarkan penghasilan perusahaan melalui perpanjangan kontrak yang palsu dan invoice-nya serta transaksi yang palsu dengan vendor. Praktik fraud ini sudah terjadi sejak tahun 2013. Dorongan untuk memperoleh bonus (tantiem) menjadi stimulus fraud akuntansi ini.
Dampak fraud akuntansi penggelembungan laba ini menyebabkan British Telecom harus menurunkan GBP530 juta dan memotong proyeksi arus kas selama tahun ini sebesar GBP500 juta untuk membayar utang-utang yang disembunyikan (tidak dilaporkan). Tentu saja British Telecom rugi membayar pajak penghasilan atas laba yang sebenarnya tak ada.
Skandal fraud akuntansi ini, sebagaimana biasanya, berdampak kerugian kepada pemegang saham dan investor di mana harga saham British Telecom anjlok seperlimanya ketika British Telecom mengumumkan koreksi pendapatannya sebesar GBP530 juta di bulan Januari 2017.
Luis Alvarez, Eksekutif British Telecom yang membawahi British Telecom Italia pun angkat kaki. Chief Executive Officer British Telecom Gavin Patterson?dan Chief Financial Officer Tony Chanmugam dipaksa mengembalikan bonus mereka masing-masing GBP340.000 dan GBP193.000. Beberapa pemegang saham British Telecom segera mengajukan tuntutan kerugian class-action kepada korporasi karena dianggap telah mengelabui investor dan tidak segera mengumumkan fraud keuangan tersebut.
Saat ini atas fraud akuntansi tersebut, penegak hukum Italia sedang melakukan proses investigasi terhadap tiga orang mantan eksekutif dan dua staf British Telecomm di Italia. Tuduhan fraud dialamatkan kepada Gianluca Cimini ? mantan Chief Executive Officer British Telecom di Italia yang dianggap paling bertanggung jawab melanggar tata kelola perusahaan terkait permainan dengan vendor dan kontraknya serta perilaku yang mengintimidasi bawahan.
Mantan Chief Operating Officer Stefania Truzzoli dituduh memanipulasi hasil operasional yang dipakai menjadi dasar pemberian bonus dan memanipulasi informasi hasil kinerja ke korporasi induk (British Telecomm Europe). Mantan Chief Financial Officer Luca Sebastiani juga menerima tuduhan karena tidak mampu melaporkan fraud keuangan dan mendorong pegawainya Giacomo Ingannamorte membuat invoice palsu.
Luca Torrigiani, mantan staf yang bertanggung jawab kepada klien pemerintah dan klien besar lainnya dituduh melanggar aturan British Telecom dengan memilih vendor dan menerima pembayaran dari agen British Telecom Italia.
Bagi PwC, masalah ini menjadi yang kedua kalinya menerpa dalam dua tahun belakangan ini setelah Tesco karena gagal memberitahukan ratusan juta poundsterling laba yang hilang. Yang menarik, di Inggris terdapat lembaga antifraud yaitu Serious Fraud Office (SFO) yang melakukan penegakan hukum atas skandal fraud termasuk fraud oleh atau di korporasi.
SFO mengenakan sanksi denda GBP129 juta kepada mantan-mantan eksekutif British Telecomm atas tuduhan fraud ini. British Telecom adalah korporasi induk yang berkedudukan di Inggris. Pelajaran yang diambil dari fraud di atas adalah
1. fraud bukan hanya terjadi di perusahaan kecil, negara terbelakang, dan negara berkembang atau terjadi di pemerintahan (anggaran negara) melainkan terjadi juga di negara maju dan korporasi ternama. Ini artinya fraud harus dianggap sebagai bahaya laten atau risiko bawaan di setiap organisasi;
2. fraud tidak hanya menyeret kantor akuntan publik skala kecil atau menengah, namun semua bigfour tidak ada yang luput dari kegagalan auditnya dalam mendeteksi fraud;
3. perusahaan harus memperhatikan tata kelolanya. Sistem manajemen kinerja yang sehat dan wajar adalah bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Pada kasus ini, dorongan untuk memperoleh bonus (tantiem) menjadi stimulus fraud akuntansi ini. Biasanya bonus diukur dari kinerja keuangan dan kinerja itu diukur dari pelampauan atas indikator laba dan aset yang telah ditentukan.
Selain itu, sistem pelaporan pengaduan (whistleblowing) yang dikelola dengan baik dan terpercaya merupakan bagian dari tata kelola perusahaan yang baik. Pada kasus ini, dugaan fraud efektif terbongkar melalui whistleblower;
4. untuk menilai nilai suatu korporasi (corporate value) oleh investor dan kreditor semestinya harus mengevaluasi desain dan keefektifan tata kelolanya. Value suatu organisasi mestinya tidak hanya mengacu pada kinerja keuangan;
5. Publik tidak bisa mengandalkan akuntan publik untuk mendeteksi fraud dalam penugasannya melakukan audit atas laporan keuangan dikarenakan karakteristik fraud yang selalu disembunyikan dan ditutupi, adanya informasi asimetri, dan groupthink yang kohesif melindungi perbuatan tidak etis, serta kelemahan bawaan atau keterbatasan sistem pengendalian intern untuk mencegah fraud apabila terjadi kolusi dan pengabaian kontrol oleh eksekutif itu sendiri.
Selain itu, dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, walaupun akuntan publik disyaratkan oleh standar auditing agar mewaspadai fraud yang material namun prosedur audit atas laporan keuangan tidak dirancang secara khusus untuk mendeteksi fraud;
6. akuntan publik tidak didesain menjadi seorang fraud investigator. Meskipun akuntan publik dan para asistennya diberikan pengetahuan dan pelatihan tentang fraud, bukan berarti mereka memiliki keahlian yang sama dengan fraud investigator;
7. sikap atau posisi akuntan publik terhadap risiko fraud serupa dengan audit intern bahwa aktivitas audit intern diselenggarakan bukan untuk mendeteksi dan mengungkap praktik-praktik fraud di organisasinya. Pengetahuan dan keahlian auditor intern pun tidak sama dengan orang yang spesialis antifraud atau menjadi investigator fraud. Oleh karena itu, belum saatnya berharap banyak kepada audit intern untuk selalu mampu mendeteksi fraud dalam setiap perikatan tugasnya.
8. fraud akuntansi atau fraud laporan keuangan bukanlah suatu akhir. Fraud akuntansi pasti memiliki motif, apakah motif untuk memaksimalkan tantiem, menjaga value korporasi secara finansial, atau bisa juga untuk membungkus penggelapan yang sudah terjadi;
9. di Indonesia, fraud tertentu diatur oleh undang-undang tertentu seperti fraud perbankan, pasar modal, perpajakan yang memiliki ketentuan pidana dan kewenangan penegakan hukum sendiri. Di luar itu, penegakan hukum yang menindaklanjuti dugaan fraud umum menjadi urusan kepolisian. Tidak ada institusi khusus yang menangani fraud seperti SFO di Inggris atau Satuan Tugas Penegakan Hukum atas Fraud Finansial yang melibatkan berbagai institusi pemerintah di Amerika Serikat. Penegakan hukum atas fraud umum yang melanda korporasi baik secara pidana atau denda yang material relatif langka di Indonesia.
10. komplain publik terhadap laporan keuangan dan opini akuntan publik relatif jarang dijumpai di Indonesia. Padahal praktik fraud akuntansi dan dampaknya adalah nyata. Di Amerika Serikat, komplain gugatan baru oleh publik terjadi bila perusahaan yang mengalami fraud mengajukan pailit atau pengawas pemerintah menemukan fraud ketika melaksnakan auditnya atau adanya pengaduan tentang fraud.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement