Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bagaimana Cara Membangun Engagement antara Pegawai dan Perusahaan?

Bagaimana Cara Membangun Engagement antara Pegawai dan Perusahaan? Kredit Foto: Unsplash/Nik MacMillan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di era disrupsi digital ini bisnis semakin kompleks, cepat berubah, diliputi ketidakpastian atau kesulitan dalam membuat prediksi, dan ambiguitas sehingga dapat mengancam eksistensi dan kelangsungan hidup perusahaan.

Pada kondisi ini organisasi membutuhkan cara kerja yang cekatan, gesit, dan proaktif antisipatif. Agar dapat melakukan cara kerja dimaksud, organisasi membutuhkan personel yang memiliki keterikatan (engagement) pada pekerjaan dan organisasinya. Berbagai penelitian ilmu manajemen menyimpulkan organisasi yang mampu membangun keterikatan pada pegawai akan memberikan dampak positif kepada perusahaan.

Ajang penghargaan atas prestasi organisasi membangun engagement dan jasa konsultan untuk membangun engagement menjadi incaran untuk mendapatkan praktik sumber daya manusia yang menghasilkan keterikatan. Salah satu bank BUMN bahkan pada tahun 2018 meraih prestasi membanggakan yaitu menempati peringkat 11 dunia menurut Forbes, sejajar dengan perusahaan wahid kelas dunia. Memperoleh keterikatan pegawai, jelaslah menjadi dambaan organisasi.

Menurut konsultan Gallup, organisasi akan mendapatkan keterikatan antara lain bilamana pegawai memahami apa yang diharapkan organisasi pada dirinya, organisasi memberikan sarana kerja yang layak, pegawai memiliki kesempatan mengekspresikan output terbaik setiap hari, pegawai memperoleh pengakuan dan penghargaan yang pantas, adanya kepedulian dan hubungan yang hangat dari atasan dan rekan kerja, organisasi memberikan peluang untuk berkembang, serta atasan mendorongnya untuk berkembang.

Baca Juga: Terbukti! Ternyata Karyawan Magang Adalah Aset Penting Bagi Startup

Banyak yang menafsirkan pegawai yang engage adalah pegawai yang secara kasat mata dilihat oleh rekan kerja dan atasan sebagai orang yang cekatan, antusias, proaktif, gigih tidak mudah mengeluh, berinisiatif, memiliki motivasi kuat dan gairah untuk unjuk kinerja secara konsisten, menyukai pekerjaan dan bertanggung jawab, bahkan memiliki kekuatan esktra untuk bekerja lembur.

Pegawai ini bersedia menerima tantangan atau tugas yang tidak rutinitas serta mau berbagi dan bekerja sama dengan kolega. Pegawai ini bersedia memberikan kontribusi gagasan dan upaya-upaya karena ia merasa menjadi bagian penting organisasi. Pegawai ini bukan hanya memburu renumerasi atau take home pay bulanan. Jelaslah, pegawai yang seperti ini adalah dambaan dan andalan atasan dan organisasi. Organisasi dan atasan tentu takut kehilangan pegawai yang berkinerja baik.

Bentuk keluaran atau karakteristik yang demikian melahirkan suatu konsep dan teori tentang keterikatan yang secara filosofis dapat dijelaskan sebagai: Pegawai yang memiliki keterikatan adalah yang memiliki ikatan emosional yang diinvestasikannya pada pekerjaan dan organisasi yang menjadi tempat ia berkarya. Pegawai yang mengabsorpsikan fisik dan energi, kognitif ke dalam attitude-nya untuk kinerja organisasi.

Pegawai yang memiliki keterikatan meyakini pekerjaan yang dilakoni berarti baginya dan lingkungan kerjanya kondusif. Dalam teori tentang keterikatan disebutkan bahwa keterikatan akan eksis bila pegawai benar-benar merasa berarti (meaningful) karena personel mengetahui dengan baik perannya di organisasi, kontribusinya memiliki manfaat atau dampak berarti bagi kinerja organisasi, dan merasa dilibatkan dalam perumusan dan pencapaian target organisasi.

Berbagai penelitian ilmu manajemen menemukan bahwa masih ada lagi anteseden yang dapat menumbuhkan dan memelihara keterikatan pegawai. Bila anteseden itu tidak tersedia dan/atau tidak berfungsi maka sulit memperoleh keterikatan.

Dalam keseharian hubungan kerja masih dijumpai banyak atasan yang tidak peduli dan tidak memperhatikan pengembangan dan kemajuan kapabilitas dan karir bawahannya, atasan tidak mampu menghadirkan pemberdayaan, kepercayaan, otonomi dan fleksibilitas kepada bawahan untuk membangun tujuan dan cara menyelesaikan tugasnya, ketidakmampuan atasan membangun hubungan kerja kolaboratif antarkolega atau malahan terjadi sekat dan silo antarpersonil, kegagalan menghadirkan motivasi dan solusi serta kegembiraan agar bawahan tidak menjadi burnout. Ini adalah contoh kondisi yang tidak menghadirkan keterikatan.

Organisasi sering melalaikan stress psikososial seperti adanya sistem penilaian kinerja membuat kompetisi yang sarkastik untuk meraih posisi tinggi di antara seluruh pegawai sehingga menyebabkan menurunnya kolaborasi dan kerja sama tim serta hubungan sosial. Faktor ini secara tidak langsung mengganggu kesehatan jiwa pegawai. Organisasi juga mengabaikan psychological contract antara organisasi dengan pegawai.

Baca Juga: Pak Menteri Bilang Anak Muda Jangan Cuma Punya Mimpi jadi Pegawai Saja...

Pegawai mengamati keputusan manajemen atau atasan dan kondisi serta iklim kerja apakah masih selaras dengan harapannya. Harapan yang tidak tertulis dalam perjanjian kerja. Ketidaksesuaian atau masalah di atas dapat mengganggu atau meniadakan keterikatan pegawai.

Pada hal yang sangat sederhana saja, jangankan untuk mengajak serta bawahan untuk merumuskan tujuan atau target dan cara mencapai tujuan, atasan atau organisasi menganggap tidak penting menyampaikan tujuan dan strategi organisasi sehingga pegawai tidak merasakan arti penting dirinya, arti penting pekerjaan yang dikerjakan, arti penting kontribusi dirinya, serta dampak langsung dari keluaran kerjanya.

Seringkali pegawai tidak mengerti mengapa harus melakukan sesuatu tugas atau tantangan yang didisposisikan. Untuk apa melakukan tugas itu atau mengejar suatu target baru? Pekerjaan dilalui tanpa makna, hanya untuk memenuhi rutinitas dan mencapai kinerja. Padahal teori keterikatan menegaskan bahwa keterikatan tumbuh bila pekerjaan memiliki makna (meaningful) atau pegawai merasakan bahwa pekerjaannya memiliki arti atau berarti penting.

Professor Adam Grant dari Wharton Business School melakukan eksperimen dengan mengubah cara memotivasi petugas pencari dana sumbangan untuk beasiswa yang semula berupa sekedar arahan atau penjelasan dari manajemen universitas kepada petugas tersebut agar selalu meningkatan kinerja pengumpulan sumbangan atau donasi menjadi mendengarkan kebanggaan dan apresiasi dari para penerima beasiswa. Dengan mendengar langsung dari para penerima beasiswa, pencari dana donasi menjadi lebih merasakan dan mengetahui manfaat serta mendapat apresiasi dari hasil kerjanya.

Pemimpin harus mampu menyelami perasaan dan pikiran bawahan, termasuk kesulitan yang dihadapi serta membangun kebersamaan (bukan kompetisi yang keras dan silo) sehingga pelaksanaan tugas menjadi suatu kegembiraan dan tumbuh saling kepercayaan. Pemimpin harus cerdas membuka terobosan pada kepemimpinannya seperti yang terjadi di Wharton Business School.

Pemimpin organisasi harus bisa membedakan mana yang artifisial dan substansial pada engagement sebab seperti yang telah dijelaskan di muka, wujud engagement dapat saja berupa tampilan luar atau perilaku ekstrinsik yang diberikan pegawai dan persepsi yang diarahkan bukan berasal dari nurani yang jujur.

Pemimpin organisasi atau atasan harus mengetahui anteseden-anteseden yang dapat mempengaruhi keterikatan agar dapat memahami secara utuh mengapa sumber daya manusia atau bawahannya tidak menghadirkan keterikatan yang substansial. Tentu saja bahasan ini tidak dapat menjelaskan anteseden lain yang penting yang mempengaruhi keterikatan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: