Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengusulkan besaran premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) sebesar 0,05% dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan bahwa dengan rasio premi PRP sekitar 0,05% terhadap simpanan maka nilai premi yang harus dibayar seluruh?perbankan sekitar Rp250 miliar berdasarkan?asumsi DPK sekitar Rp5.000 triliun.
"Usulan yang kami usulkan itu kecil sekali," kata?Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Halim Alamsyah mengatakan jika melihat jumlah perkiraan premi PRP yang didapat per tahun sebesar Rp250 miliar memang cukup kecil.?Oleh karena itu, perlu dibahas mengenai berapa jumlah optiimal pembayaran premi PRP ini agar tidak memberatkan perbankan. Meski demikian, ia mengatakan bahwa dengan besaran 0,05% pun industri perbankan masih merasa keberatan mengingat saat ini industri telah menanggung berbagai biaya.
"(Besaran 0,05%) hanya bisa menolong bank kecil," ujarnya.
Ia menambahkan PRP ini sangat berbeda dengan?premi simpanan LPS. Ia menjelaskan?PRP dibuat untuk bank guna mengantisipasi gejolak?krisis, sedangkan?premi simpanan diperuntukkan sebagai jaminan dana nasabah atau masyarakat di perbankan.
Premi PRP akan membantu pemilik dan pengurus bank jika terjadi krisis keuangan seperti tahun 1997/1998. Kala itu, biaya pemulihan atau resolusi krisis mencapai 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Selain menjadi sumber pendanaan saat krisis, premi PRP juga memaksa manajemen perbankan menjadi lebih hati-hati (prudent).
"Kalau PRP itu dibuat untuk bank itu sendiri kalau nanti terjadi gejolak seperti, krisis," sebutnya.
Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti mengatakan besaran premi PRP masih dibahas oleh LPS bersama pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Nantinya, besaran premi PRP akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP).?Kalaupun nantinya besaran premi PRP telah ditetapkan, LPS akan memberikan waktu tenggang pembayaran dengan melihat kesiapan industri.
"Kami terus intens membahas mengenai premi PRP. LPS tidak bisa sendiri memutuskan (premi PRP) tetapi memang harus melihat bagaimana masukan, khususnya dari OJK, yaitu kondisi bank seperti apa," jelas Destry.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) meminta besaran premi tambahan untuk PRP tak memberatkan industri karena industri perbankan saat ini masih dalam proses pemulihan kinerja setelah menghadapi perekonomian yang melambat sejak tahun lalu.
"Kalau memungut biaya untuk program restukturisasi perbankan ataupun yang lain, kalau bisa tidak terlalu memberatkan bank," tutur Agus di Gedung Thamrin BI, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data terakhir Bank Indonesia, total DPK perbankan hingga Mei 2017 tercatat Rp4.876 triliun. Jumlah tersebut meningkat 10,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.?
Reportase: Muhamad Ihsan
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement