Berdasarkan pengecekan di lapangan, Tim Pangan belum menemukan unsur penimbunan. Kendati begitu, sejumlah kalangan menduga penyebab melonjaknya harga garam tersebut akibat hukum pasar, yakni produksi garam turun, sementara permintaan cukup stabil atau bahkan naik.
Contohnya, distributor garam di Blitar, Ana Anggraini, mengakui hal itu dan membatasi pembelian konsumen maksimal 50 kg. "Bahan baku susah, permintaan banyak. Ini juga antre. Bahkan untuk permintaan juga tidak semuanya dapat dipenuhi, seperti minta 100, tidak diberi penuh 100," katanya menjelaskan.
Sementara itu, data di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jatim menunjukkan harga garam konsumsi cenderung naik, yakni Rp 2.984 pada Juli 2014 menjadi Rp3.308 per kilogram pada Juli 2015, Rp 3.883 perkilogram pada Juli 2016 dan pada Juli 2017 meningkat tajam menjadi Rp 5.792 per kilogram.
Dengan kondisi tersebut masyarakat kini meminta pemerintah bisa mengambil langkah-langkah solutif agar garam cukup tersedia dan harganya stabil. Sebab, kendati garam tidak seperti halnya kebutuhan pokok lain di antaranya beras, minyak goreng, kedelai, atau komoditas lain, tapi jika tidak cukup tersedia akan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Cuaca Banyak pihak mengakui Indonesia memiliki panjang pantai yang besar, yakni sekitar 99.000 kilometer. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan.
Namun demikian, tidak semua wilayah tersebut mampu memproduksi garam karena untuk bisa menghasilkan garam harus memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan teknis.
Seperti diketahui, jika melihat proses produksi garam di sejumlah wilayah di Indonesia, utamanya di "Pulau Garam" Madura, selama ini masih dilakukan secara konvensional. Proses produksi garam secara konvensional yang banyak dilakukan petani sangat tergantung cuaca, kondisi tanah, dan kualitas air laut.
Untuk memproduksi garam dibutuhkan kandungan garam air laut yang cukup dan tidak asam. Cuaca juga harus terik, tidak hujan, agar bisa mendukung proses penguapan guna menghasilkan kristal garam. Sedangkan tanah untuk proses produksi juga tidak boleh cepat merembes agar dihasilkan garam secara maksimal.
Sementara itu, terkait dengan naiknya harga garam Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf atau biasa disapa Gus Ipul menduga kondisi tersebut berhubungan dengan turunnya produksi garam petani. Produksi garam petani cenderung turun dampak cuaca yang tidak kondusif untuk mendukung proses produksi.
Akibat musim hujan pada tahun 2016 yang panjang sehingga petani garam di Jatim hanya mampu menghasilkan 123.873 ton garam dari target produksi sebesar 1,2 juta ton. "Target 1,2 juta ton per tahun, tapi hingga bulan ini petani hanya mampu menghasilkan 689 ton," katanya.
Padahal, Jatim selama ini dikenal sebagai daerah produsen garam dan memasok sekitar 40 persen kebutuhan nasional. Sedangkan kebutuhan garam konsumsi masyarakat Jatim sekitar 150 ribu ton per tahun.
Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi dan bahkan kelangkaan garam di Jatim maka akan berdampak pula ke sejumlah daerah di Indonesia.
Alih Fungsi Meski ada dugaan produksi garam kini cenderung turun akibat cuaca, yakni kemarau basah, tapi sejumlah pihak menengarai alih fungsi lahan juga menjadi penyebab turunnya produksi garam belakangan ini.
Jika menyusuri di kawasan "Pulau Garam" Madura misalnya, sebagian di antaranya kini beralih fungsi untuk budi daya udang vaname yang dinilai lebih menguntungkan. Masyarakat setempat mencoba peruntungan mengembangkan budi daya udang vaname.
Alih fungsi lahan untuk budi daya komoditas lain di luar kebiasaan, biasa dilakukan pula oleh para petani di daerah tertentu, seperti dari tanaman padi ke tanaman palawija saat musim kemarau, karena lebih menguntungkan. Alih fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan petani.
Namun, alih fungsi lahan yang masif akan bisa menyebabkan menyusutnya lahan untuk budi daya kompoditas tertentu, seperti halnya garam, dan berdampak terhadap "keseimbangan" pasokan di pasar.
Terlepas dari dugaan penyebab langkanya garam di pasar, ekonom yang juga anggota International Fund for Agricultural Development (IFAD), Dr James Adam MBA meminta pemerintah bisa agar mengkaji lagi tata niaga garam dan urusan impornya guna mengoptimalkan potensi garam di daerah dan mengontrol impornya agar tidak merembes ke pasar dan membuat petambak garam nasional merugi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement