Ekonom dari lembaga kajian CORE (Center of Reform on Economics), Mohammad Faisal menyoroti permasalahan penurunan daya beli masyarakat terutama dalam kaitannya dengan kelesuan ekonomi.
Mohammad Faisal berpendapat bahwa penurunan daya beli tersebut tampak dari pendapatan riil masyarakat yang tergerus inflasi. Lulusan Universitas Queensland, Australia, tersebut menyebutkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.
Faisal mencontohkannya dengan kelompok buruh bangunan, yang meskipun secara nominal rata-rata upahnya meningkat, inflasi semester I-2017 yang mencapai 2,4 persen menggerus pendapatan riil mereka 1,4 persen.
"Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali," kata dia. Faisal berpendapat inflasi bahan pangan di 2017 memang rendah, namun peningkatan harga yang diatur oleh pemerintah (administered prices), seperti tarif dasar listrik dan gas elpiji, justru mendorong inflasi enam bulan pertama 2017 lebih tinggi dua kali lipat dibanding periode yang sama 2016.
Kemudian, ia juga mengatakan masyarakat kelas menengah saat ini sedang menahan belanjanya (delayed purchase) yang kemudian mengakibatkan penurunan penjualan di banyak sektor. "Buktinya, kalau melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama sembilan bulan terakhir meningkat," ucap Faisal.
Peningkatan DPK tersebut terjadi pada simpanan jangka panjang, dan di sisi lain tabungan jangka pendek justru melambat. "Artinya, mereka yang menyimpan uang di bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat," ucap Faisal.
Pertumbuhan DPK valuta asing dalam sembilan bulan terakhir juga lebih cepat daripada dalam rupiah. Ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor impor sembilan bulan terakhir.
Namun, lanjut Faisal, peningkatan pendapatan tersebut belum ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri. Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Selain itu, Faisal juga menilai maraknya perdagangan dalam jaringan (e-commerce) juga berpengaruh pada penurunan jumlah pelanggan di pertokoan dan pusat perbelanjaan.
Namun, hal tersebut bukan menjadi pemyebab utama pelemahan daya beli masyarakat karena dampaknya yang merambah dari sisi hilir (pedagang) sampai ke hulu atau produsen. "Bukan hanya cara membelinya yang bergeser, tetapi permintaan juga melemah, sehingga produksi pun terpaksa ditahan, bahkan dikurangi," ucap Faisal.
Ia memaparkan bahwa di pabrik-pabrik pengolahan telah terjadi pelambatan produksi, mulai dari industri pakaian, peralatan listrik, sepeda motor, farmasi, plastik, bahkan makanan dan minuman. (RKA/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi
Advertisement