Setiap tanggal 30 September, polemik terkait kebenaran sejarah pemberontakan PKI muncul di ruang publik. Apalagi ditambah dengan instruksi dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang meminta agar film 'Pemberontakan G30S/PKI' wajib diputar kembali agar bangsa Indonesia waspada akan kebangkitan partai yang telah diluluhlantahkan oleh rezim Orde Baru tersebut. Menanggapi hal itu, peneliti dari Universitas Pelita Harapan Yosef Djakababa menilai usai Soeharto tumbang, studi ilmiah terkait kebenaran sejarah 1965 terus menghadirkan tafsir yang beragam.?
"Karena memang sebelumnya lebih dari tiga dekade hanya berpaku pada tafsir Orde Baru," kata Yosef sebagaimana dikutip dilaman The Conservation.com.
Doktor lulusan Studi Sejarah di University of California, Berkeley itu menambahkan hingga saat ini narasi sejarah Tragedi 1965 belum diterima oleh semua pihak. Pemahaman masyarakat yang tidak lengkap mengenai tragedi 1965 menjadi salah satu penyebab pertentangan. Berbagai pihak juga cenderung menyederhanakan masalah dengan mengabaikan konteks lokal dan global pada saat tragedi itu terjadi.
"Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan terlebih masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi tersebut. Masing-masing memilih narasi atau analisis yang sejalan dengan kepentingan mereka," tambahnya.
Dia menyarankan untuk mencari jalan keluar dari beban masa lalu yang kelam ini perlu pemahaman yang komprehensif dan lengkap mengenai tragedi 1965.
"Masyarakat perlu paham mengenai kompleksitas ketegangan politik antara berbagai kekuatan sosial dan politik sebelum pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965 dan masyarakat juga perlu mengetahui pembantaian kelompok kiri yang terjadi sesudahnya," pungkasnya.
Dia pun lantas membagi tipe masyarakat Indonesia dalam memandang tragedi 1965:
Pertama, orang-orang yang masih memercayai narasi resmi Orde Baru yaitu PKI adalah penyebab utama sejarah kelam ini. Kedua,?mereka yang memercayai narasi para korban pembantaian 1965. Ketiga,?orang-orang yang bingung karena adanya berbagai versi yang sering kali bertolak belakang. Keempat, orang-orang atau generasi yang sama sekali tidak peduli dengan tragedi 1965 ini.?
Kelompok pertama membingkai sejarah 1965 dengan terus melestarikan versi rezim Orde Baru. Fokus narasi ada pada peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965. Narasi mengenai pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965 disenyapkan.?Kelompok kedua, cenderung fokus pada narasi para penyintas, korban-korban pembunuhan, penangkapan, diskriminasi, dan berbagai aspek-aspek pelanggaran HAM yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Di kelompok ini narasi mengenai penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat serta periode sebelum 1 Oktober 1965 cenderung disenyapkan dan tidak atau jarang disinggung.
Lalu apa solusinya?
"Hanya dengan memahami dinamika politik dan sosial Indonesia di tahun-tahun menjelang peristiwa 1 Oktober 1965 kita bisa melihat tragedi ini dengan lebih baik. Pada tahun-tahun menjelang pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, kondisi sosial dan politik Indonesia berada pada situasi penuh ketegangan antara kelompok kiri dan kanan. Pada saat itu gerakan kiri cenderung mendominasi wacana politik di Indonesia,".
Ketegangan hebat antara blok barat (negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa barat dan Jepang) dan blok timur (negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Korea Utara, Cina, dan Vietnam Utara) menambah tekanan dari dimensi internasional. Ketegangan bipolar di tingkat dunia ini pun memengaruhi dinamika politik domestik Indonesia. Saat itu kelompok kiri yang dimotori Partai Komunis Indonesia cenderung terus menekan kelompok kanan, yang adalah kelompok Islam, Angkatan Darat dan kelompok-kelompok anti-komunis lainnya.
"Presiden Sukarno memainkan perannya sebagai penengah yang berdiri di tengah perseteruan ini. Setelah pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, yaitu penculikan enam jenderal oleh sekelompok tentara berhaluan kiri yang menamai diri mereka Gerakan 30 September, diikuti penumpasan gerakan tersebut oleh Mayor Jenderal Soeharto, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran politik Indonesia. Yang tadinya sangat pro-kiri dan pro-komunis berubah ke arah kanan yang pro-barat dan didominasi oleh militer yang anti-komunis. Pergeseran arah politik Indonesia ke arah kanan dimungkinkan karena militer anti-komunis menyingkirkan tokoh-tokoh kiri dari kekuasaan. Pembantaian, penahanan, dan diskriminasi yang orang-orang yang dipercaya berhaluan kiri sesudah 1 Oktober 1965 menyumbang pada pergeseran tersebut," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement