Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peta yang Akurat, Jadi Aspek Penting Pengelolaan Gambut

Peta yang Akurat, Jadi Aspek Penting Pengelolaan Gambut Kredit Foto: Fajar Sulaiman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam upaya melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut, dibutuhkan sebuah peta dengan akurasi tinggi yang bisa dijadikan acuan bersama para pemangku kepentingan yang terlibat.

Pembina Yayasan Sjahrir Kartini Sjahrir mengatakan, salah satu instrumen penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah tersedianya peta gambut yang akurat. "Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama,? ungkapnya di Jakarta.?

Indonesia, menurutnya, memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air. Padahal pengelolaan lahan gambut yang tepat merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon.

Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose dari Japan Space System, sejak 1970-an sampai 2011, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, serta sejumlah lembaga dan perguruan tinggi telah membuat peta gambut skala lokal dan nasional. Namun, laporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektare.

Namun, menurut World Resources Institut (WRI Indonesia), semua peta gambut yang tersedia di Indonesia masih dalam skala kecil sehingga belum bisa menjawab permasalahan pengelolaan gambut dan restorasi di tingkat tapak.

Menurut Deputi I bidang Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Satyawan Wardjama, BRG yang dibentuk pemerintah tahun 2016 adalah dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan. Awalnya, bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum ter-update dan kurang memadai.

"Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi, sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum ter-update," ungkapnya.

Budi Satyawan menjelaskan, dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi kondisi hidrotopografis, kerusakan gambut dan tutupan, serta sosio-ekonomis. BRG menggunakan teknologi LiDAR (Light Detection Ranging) yang dapat menghasilkan peta skala besar hingga 1:2.500, dan mendapatkan detail kondisi yang bisa ditampilkan dengan pemodelan tiga dimensi.

Pemerintah juga menyadari pentingnya peta yang lebih akurat dan bisa digunakan sebagai acuan bersama dalam menentukan sebuah kebijakan. Karena itu, tahun 2016 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000.

Percepatan Pelaksanaan KSP pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.

Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara lain memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG) Nurwadjedi mengatakan BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan dan target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 Peta di Pulau Sulawesi, serta 79 peta tematik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara.

"Kalau sekarang masih 1: 50.000. Ke depan kita juga sudah merancang peta skala 1:5000," ungkapnya.

Untuk memetakan luasan dan ketebalan gambut, selama ini para ilmuwan menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran lapangan. Namun, belum ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut. Tidak adanya kesepakatan ini telah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat melacak perubahan luasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.

Untuk itu, BIG bekerja sama dengan WRI juga mengadakan kompetisi Indonesian Peat Prize. Kompetisi ini mengajak para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengembangkan metode pemetaan luasan dan ketebalan gambut di Indonesia yang lebih akurat, cepat, dan ilmiah.

Kartini Sjahrir menyatakan, dari diskusi kali ini? bisa disimpulkan pentingnya Science Base Solution dalam melakukan upaya konservasi dan restorasi. "Dalam membuat kebijakan apapun pemerintah memang harus menggunakan data yang akurat dan untuk memperoleh itu penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan standar internasional sangat dibutuhkan," tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Advertisement

Bagikan Artikel: