Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit (Crude palm oil (CPO)) terbesar di dunia. Tingkat produksi pada 2016 lalu tercatat 35,6 juta ton dan dari jumlah itu diekspor sebesar 25,1 juta ton. Data tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar produksi minyak sawit Indonesia, yaitu 70%, dilepas ke pasaran ekspor. Ini menandakan komoditas minyak sawit Indonesia mengalami surplus produksi sehingga kelebihan produksi dijual ke pasar ekspor.
Namun, informasi bagus seperti itu bukannya tanpa catatan kaki. Salah satu catatannya: produktivitas sawit petani masih rendah di bawah 3 ton per ha per tahun. Padahal, tingkat produksi sawit nasional rerata di atas 4 ton per ha per tahun. Tingkat produtivitas sawit masih bisa digenjot lagi apabila memakai benih unggul dan dikelola secara baik. Di Negeri Jiran Malaysia, kebun sawit bisa menghasilkan sampai ke level 8,4 ton per ha per tahun.
Hal yang memprihatinkan memang tingkat produksi sawit petani. Untuk menggenjot produktivitas minyak sawit petani sampai ke level optimal, pemerintah meluncurkan program replanting kebun sawit milik petani. Sumber dana program replanting ini berasal dari hasil pungutan pajak ekspor minyak sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDP-KS). BPDP-KS mengalokasikan dana Rp25 juta per ha untuk setiap petani. Maksimal lahan yang didanai BPDKS hanya empat hektare. Jadi, setiap petani hanya berhak memperoleh Rp100 juta untuk replanting lahan seluas empat hektare. Luas lahan replanting yang ingin dijangkau pada 2017 seluas 20 ribu ha.
Padahal, untuk program replanting ini, satu hektare lahan sawit setidaknya membutuhkan Rp65 juta. Bantuan pemerintah melalui BPDPKS hanya memasok Rp25 juta per ha. Itu artinya, petani mesti menyediakan dana sendiri setidaknya Rp40 juta per ha. Petani bisa saja mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 7% ke bank untuk menutup kekurangan dana tersebut. Di luar masalah pendanaan, isu krusial dari program replanting ini terkait status hukum tanah perkebunan sawit petani. Masih banyak lahan sawit petani yang belum tersertifikasi sehingga tidak bisa mengikuti program replanting. Untuk menyertifkasi lahan petani itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional menggulirkan program sertifikasi.
Secara simbolis, Presiden Jokowi sudah meresmikan program replanting sawit ini di Kabupaten Mudi Banyuasin, Sumatera Selatan pada awal Oktober 2017. Setelah Musi Banyuasin, program replanting akan merambah ke Medan, Sumatera Utara. Target luas lahan replanting di Sumut sekitar 1.214 ha dari 100 ribu ha yang ditargetkan. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menargetkan setidaknya 1,5 juta lahan sawit petani di Indonesia mengikuti program replanting ini. Luas lahan petani sawit secara nasional seluas 3,8 juta atau 41% dari total luas kebun sawit nasional 11,3 juta ha.
Bayangkan saja, apabila 1,5 juta ha lahan sawit petani berhasil di-replanting, bisa dipastikan pasokan sawit akan berlimpah. Pasalnya, produktivitas sawit petani yang memakai benih unggul tersertifikasi mampu menghasilkan di level optimal, di atas 5 ton per ha per tahun. Dengan proyeksi penambahan pasok minyak sawit dari program replanting ini— meski menanti tiga sampai empat tahun ke depan—bisa dipastikan posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar tidak akan tergerus. Apalagi kalau pemerintah mulai mencabut kebijakan moratorium lahan perkebunan sawit, penambahan pasok akan melonjak.
Dengan prestasi minyak sawit sebagai penghasil devisa terbesar, sudah membuktikan bahwa sawit bukan hanya jadi produk strategis negara ini. Begitu pula bila menghitung keterlibatan 7,9 juta kepala keluarga di bisnis ini, plus multiplier efek yang berlangsung, tidak ada yang memungkiri bahwa sawit memiliki peran besar dalam menyejahterakan petani. Coba perhatikan data Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) 2014: pendapatan rerata petani sawit Rp10,6 juta per kapita per tahun di atas pendapatan individu nasional sebesar Rp4,4 juta per kapita per tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu