Mobil masa depan sudah pasti akan mengedepankan teknologi tinggi. Banyak sekali bagian yang mengadopsi teknologi tinggi, mulai dari bahan bakar hingga mobil tanpa pengemudi. Bagaimana tren tersebut di Indonesia?
Beberapa negara maju, seperti Inggris, Norwegia, Dubai, dan Amerika Serikat, akan resmi melarang penjualan mobil dengan mesin berbahan bakar bensin dan solar pada 2045 mendatang. Hal ini memacu berbagai produsen mobil global, seperti Mercedes Benz dan Tesla, memproduksi mobil purwarupa untuk tahun 2045 mendatang. Akan seperti apakah mobil-mobil ini nantinya?
Sebagian produsen mulai sepakat pada pengembangan mobil yang berfokus pada automasi kemudi. Selain itu, ada juga yang berfokus pada pengembangan mobil listrik dan semilistrik (hibrida). Namun, semuanya akan semakin intens melibatkan teknologi di setiap produksi mobil masa depan. Menurut penelitian Ingenie, perusahaan asuransi black box (kotak hitam yang merekam seluruh aktivitas kendaraan) pada mobil asal Inggris, perbedaan mobil di masa kini dan mobil tahun 2045-an terletak pada penggunaan teknologi yang lebih banyak, seperti penggunaan sensor sidik jari dan pemindai biometrik kelopak mata untuk membuka dan mengunci pintu mobil, serta penggunaan asisten virtual dengan gestur atau suara untuk menggantikan tombol-tombol konvensional yang ada saat ini.
Saat penumpang memasuki kabin mobil, penumpang tinggal memberi perintah lewat suara dengan menyebutkan lokasi tujuan. Teknologi di mobil akan menyinkronkan tujuan perjalanan penumpang dengan kondisi lalu lintas sekitar, menemukan rute terbaik, sekaligus menghubungkan penumpang ke komuter atau moda transportasi lain. Saat penumpang sampai di tempat tujuan, mobil dengan sendirinya akan mengisi daya di stasiun pengisian daya terdekat dan siap menjemput penumpang kapan pun sesuai dengan perintahnya.
Penyedia jasa transportasi daring, seperti Uber, Lyft, dan Zipcar, berfokus pada pengembangan mobil dengan automasi kemudi untuk transportasi pribadi. Sementara itu, perusahaan lain lebih fokus mengembangkan transportasi massal. Sampai dengan 2045 nanti, kemungkinan akan ada masa ketika pemerintah negara asing melarang penggunaan pengemudi, atau membatasi penggunaan pengemudi pada perjalanan yang bertujuan transportasi saja, ketimbang jalan-jalan.
Sampai semua itu terlaksana, satu hal yang pasti tentang mobil masa depan adalah akan semakin banyak mobil listrik diproduksi, dan kita akan terbiasa melihat stasiun pengisian daya di sekitar kita, di depan mal, di depan perkantoran, bahkan di tempat parkir. Gubernur California, sebagai salah satu kota dengan jumlah mobil terbanyak di dunia, bahkan mewajibkan penyediaan stasiun pengisian daya mobil listrik minimal 10% di setiap ruang terbuka.
Antimacet
Semua teknologi yang disebutkan di atas masih menyisakan satu persoalan klasik transportasi darat, kemacetan. Bagaimana jika pada suatu waktu berbagai kendaraan dengan automasi kemudi tersebut menumpuk di jalanan? Jawabannya adalah penggunaan taksi terbang. Uber telah menggandeng NASA untuk mengembangkan taksi terbang dalam proyek yang disebut Manajemen Lalu Lintas Tanpa Awak atau Unmanned Traffic Management (UTM).
Pada 2020 nanti, UberAIR dijadwalkan terbang Perdana ke beberapa kota di AS, seperti Los Angeles, Dallas Fort-Worth, dan Texas. Jika sukses, kendaraan mereka akan beroperasi secara komersial pada 2023 mendatang. Sebagai perbandingan, perjalanan dengan UberAir dari bandara Los Angeles ke Staples Center akan memakan waktu 27 menit, kurang dari sepertiga perjalanan mobil biasa.
Kendaraan yang akan dipakai untuk taksi terbang itu adalah electric vertical take-off and landing vehicles (eVTOLS). Berbeda dengan helikopter, eVTOLS tidak bising, lebih aman, lebih terjangkau, dan lebih ramah lingkungan. Kendaraan akan lepas landas, mendarat, dan mengisi ulang daya di jaringan vertiport yang dipasang di atas garasi parkir atau lahan tidak terpakai di dekat jalan.
Nasib Indonesia
Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gaikindo, melihat pemangku kepentingan tidak perlu tergesa-gesa dalam mengadopsi teknologi future car layaknya mobil hibrida maupun mobil listik. Menurutnya, masih dibutuhkan kajian menyeluruh dan matang terkait teknologi mobil masa depan yang pas untuk Indonesia. Pasalnya, mobil hibrida harganya terlampau mahal, sekitar Rp700—800 juta per unit (bahkan pemerintah Jepang sampai harus menyubsidi masyarakatnya sebesar 2 juta yen untuk satu unit mobil berbahan bakar hidrogen). Padahal, daya beli konsumen Indonesia saat ini masih di tingkat LCGC dengan harga Rp110— 150 juta per unit.
“Jangan sampai terkesan gaduh dan grusa-grusu. Kalau sekadar adopsi teknologi, tapi dari dalam negeri kita tidak memiliki sumber daya yang cukup, ujung-ujungnya impor lagi. Padahal, cita-cita kita kan mengekspor mobil,” ungkap Kukuh.
Berdasarkan data Gaikindo, penerimaan mobil hibrida di Indonesia masih sangat rendah, hanya sekitar 4.700 unit saja yang terjual sejak pertama kali dikenalkan pada 2007 silam. Hal ini terjadi karena pasar mobil hibrida sangat tersegmentasi. Dengan harga yang cukup mahal, mobil hibrida hanya menjual teknologi, sedangkan fitur atau kemewahan yang ditawarkan tidak sebanding. Pun jika pemerintah memberi insentif perpajakan, dampaknya tidak akan signifikan.
“Sebesar apa pun insentif pajak yang diberikan pemerintah tidak akan signifikan, kecuali ditemukan suatu alternatif, seperti biofuel atau etanol menggunakan rumput laut. Jadi, lebih realistis kalau kita belajar dari kesuksesan negara-negara lain dulu sambil kita menyiapkan alternatif pengembangan mobil hibrida yang lebih murah seperti biofuel tadi. Di dunia, penjualan mobil nol emisi pun masih relatif kecil, sekitar 2 juta unit dan itu lebih banyak didominasi oleh pasar Cina dan Amerika,” tambah Kukuh
Sementara itu, Iskandar Abubakar, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), melihat Indonesia hanya akan menjadi penonton dan pasar bagi mobil dengan teknologi asing, jika melihat pengalaman dari sisi regulasi yang selama ini belum mendorong pengembangan teknologi mobil. Contohnya, terkait rencana penerapan standar emisi euro 4 saja, Indonesia sudah tertinggal dengan negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, bahkan Sri Lanka. Negara tetangga sudah sejak tahun 2009 lalu memberikan insentif bagi industri otomotif untuk menguji coba kendaraan bermesin hibrida.
“Saya lihat kita hanya akan menjadi penonton saja. Mobil hibrida itu kan sudah sejak tahun 1990-an digunakan di California, mayoritas Toyota Prius. Di sini, kebijakan industri otomotifnya (Kementerian Perindustrian) tidak nyambung dengan sektor lain. Sektor energi yang justru sudah memperbolehkan pengembangan flexible fuel engine berbasis biofuel oleh Toyota, misalnya,” jelas Iskandar.
Iskandar menambahkan, pengembangan teknologi kendaraan masa depan memiliki dua perhatian utama: standar keamanan dan efisiensi energi yang ramah lingkungan. Untuk itu, pemerintah perlu menjadi pendorong kemajuan teknologi mobil lewat kebijakan-kebijakan yang proteknologi baru, pun dengan munculnya mobil bermesin ramah lingkungan. Pemicunya adalah polusi udara yang pernah menelan 1.000 korban di Inggris dan California.
“Misalnya, dulu sebelum pemerintah mewajibkan penggunaan seatbelt dan airbag, produsen mobil tidak menyediakannya, itu sebelum tahun 1950-an. Setelah “dipaksa”, sekarang akhirnya secara keseluruhan benefitnya kembali ke produsen,” tambah Iskandar.
Jika tidak berbenah, menurut Iskandar Indonesia tidak hanya akan sekadar menjadi penonton, namun juga tidak mampu mengejar ketertinggalan dalam merebut future market. Tengok saja Thailand yang sejak tahun 2007 lalu melakukan over house kilang minyak mereka dan berhasil menjadi basis produksi mesin berstandar euro 4 di Asia.
“Kita lihat, sekarang kontribusi industri otomotif terhadap PDB itu berkurang, lebih banyak impor ketimbang ekspornya. Kalau Malaysia dan Thailand bisa membuat kebijakan yang win-win solution, kita juga seharusnya bisa,” pungkas Iskandar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: