Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri mengimbau semua pihak turut menjaga agar Pilkada Serentak 2018 berlangsung damai sehingga tidak menjadi pintu masuk radikalisme.
"Sebagai negara majemuk, potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat sangat tinggi, apalagi menjelang digelarnya Pilkada serentak," kata Syaiful dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Oleh karena itu, lanjut dia, selain kewaspadaan pemerintah, terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), juga dibutuhkan kesadaran semua lapisan masyarakat untuk tidak memberikan ruang bagi kelompok radikal menjalankan aksinya.
"Semua harus sepakat untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang ini, yaitu Indonesia damai, tenteram, dan bahagia, sebagai kepentingan nasional yang mutlak," kata rektor UMJ ini.
Wakil Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015 ini berharap Pilkada serentak tahun ini bersih dari provokasi dan kampanye hitam, terlebih yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menurut dia, elit politik dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pilkada harus bisa menahan diri untuk tidak menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan tanpa memikirkan dampak yang timbul pada masyarakat.
"Kalangan kelas atas biasanya punya desain untuk mempertahankan posisi mereka. Caranya dengan masuk partai politik dan pergaulan elit lainnya. Meski jumlahnya sedikit, kalangan atas yang memiliki uang inilah yang bisa kerja sama atau membiayai provokator," katanya.
Ia pun mengimbau media selektif dalam memilih narasumber. Menurut dia, seorang pengamat yang berbicara di media hendaknya benar-benar memiliki keahlian spesifik.
Ia melihat banyak pengamat dadakan tanpa kompetensi, bahkan kemampuan narasinya payah dan logikanya sempit, bisa tampil di media.
"Pengamat yang seperti inilah yang harus diawasi karena ia bisa menjadi provokator yang bisa menyulut ketidakpuasan di masyarakat. Apalagi jika pengamat tersebut berbicara tergantung order," katanya.
Begitu juga lembaga survei. Menurut Syaiful, seharusnya hasil survei tidak dipublikasi, tetapi digunakan untuk merancang program calon atau partai politik tertentu.
"Pasalnya, survei itu dilakukan dengan metode berbeda-beda sehingga hasil survei pun tidak sama. Itu bisa mengganggu harmonisasi dan gampang memancing keributan di masyarakat," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil