Dunia bisnis tengah dihadapkan pada gangguan besar (disrupsi) yang berasal dari teknologi dan konsumen (generasi milenial), tak terkecuali industri perbankan. Disrupsi tersebut tidak dapat dianggap enteng, lengah sedikit bakal langsung tertinggal dari kompetitor.
Chief Executive Officer (CEO) BCA, Jahja Setiaatmadja, benar-benar memiliki perhatian besar terhadap isu-isu tersebut. Adaptasi dengan sangat cepat dilakukan oleh Jahja, baik yang menyangkut individu maupun organisasinya. Jahja menyadari, meski BCA sudah menjadi bank besar, apa pun tetap bisa menimpa bank tersebut.
“Kita mengenal Kodak, Fujifilm, atau pun berbagai produk lain yang masa jayanya sudah unbeatable,” kata Jahja.
Oleh sebab itu, perusahaan harus adaptif dengan perubahan bisnis terkini. Jahja memiliki jurus-jurus untuk menghadapi disrupsi yang melanda bisnis perbankan. Berikut ini sepuluh jurusnya.
Pertama, membentuk tim khusus untuk mengembangkan program lebih cepat. Langkah ini mengubah sistem waterfall yang selama ini dilakukan perusahaan. Dulu, saat pemrograman suatu aplikasi di komputer modelnya waterfall, prosesnya cukup panjang untuk dijadikan program yang masif. Aplikasi pemrograman yang sudah selesai harus disetujui bagian bisnis. Bila mereka tidak menyetujui, harus dilakukan perubahan. Jahja menyebutkan, sudah sekitar dua tahun BCA mengubah kebiasaan itu. BCA membuat satu tim beranggotakan 5 sampai dengan 10 orang yang terdiri atas orang information technology (IT), orang bisnis, bahkan terkadang dari sumber daya manusia (SDM) untuk langsung mendiskusikan suatu program. Dulu, pembuatan suatu program membutuhkan waktu sekitar 16 bulan, tetapi sekarang bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu.
Kedua, implementasi blockchain (mendekati) untuk segmen tertentu (parsial). BCA memiliki nasabah yang banyak dan luas. Bank yang melayani lebih dari 15 juta rekening nasabah tersebut melakukan uji produk terbatas sebelum menjadi produk yang masif untuk seluruh nasabah. Adapun hal yang disebutnya mendekati sistem blockchain tersebut misalnya, ia mengetes 100 ribu orang terlebih dahulu dari total nasabah yang jumlahnya lebih dari 15 juta. Dari proses tersebut, BCA akan menerima feedback atau pun komplain nasabah tersebut. Apabila sudah sempurna dan tidak ada kendala, perubahan tersebut akan diperluas implementasinya.
Ketiga, terlibat langsung mendeteksi kelemahan dan kekurangan produk atau layanan BCA. Menurut Jahja, CEO yang hanya bangga punya online (produk/ layananan), tetapi tidak mendalami produknya, tentu kurang bagus. Solusinya adalah harus mengenal, mengetahui, dan mencoba produknya sendiri. Kalau tidak mencoba, maka tidak akan tahu kelemahan produk tersebut. Ia mencontohkan pengalamannya mencoba layanan credit card. BCA bisa apply langsung secara online apabila ingin tambah plafon kartu kredit. Ia menemukan masalah karena dalam layanan tersebut tidak menyediakan layanan untuk menurunkan plafon kredit, hanya bisa menaikkan plafon. Oleh sebab itu, penting bagi dirinya untuk mengenal secara dalam produk dan layanan BCA.
“Saya sudah buktikan setelah mencoba tiga sampai empat kali. Setelah mencoba produk, saya menemukan kelemahan,” kata CEO BCA.
Keempat, adopsi keunggulan dari startup dan fintech. BCA antara lain mempelajari cara salah satu startup yang memberikan reward performance kepada para driver yang ditentukan oleh rating para pelanggan. Begitu pula dengan fintech, untuk sukses harus memenuhi syarat critical mass, trust, dan service. Menurut Jahja, ia berpikir BCA sudah punya segala-galanya. Namun, ia menyadari bila BCA terlena dan tidak melakukan perubahan, maka suatu hari bisa mati dan perusahaan lain yang akan menempati posisi BCA sekarang.
Kelima, tidak meninggalkan human touch untuk relationship dengan nasabah. Betul sekali digital memberikan kecepatan transaksi dan mengurangi penggunaan tenaga kerja. Namun, BCA tidak serta merta memangkas bagian-bagian tertentu yang masih membutuhkan sentuhan manusia. CEO BCA mengungkapkan, relationship dengan nasabah tidak mungkin dihilangkan karena perseroan mempunyai jutaan nasabah. Namun sebagai catatan penting, setiap sumber daya manusia harus siap untuk berubah karena akan terjadi rotasi. Misalnya, yang bekerja di back office suatu saat harus siap melayani nasabah.
Keenam, menciptakan produk yang sophisticated. BCA sudah memiliki produk yang sophisticated. Produk atau layanannya sudah memenuhi prasyarat critical mass, trust, dan service. Oleh sebab itu, ia tidak alergi untuk merespons perubahan yang terjadi. Itulah bagian dari upaya untuk memberikan dan menciptakan produk atau layanan yang memuaskan untuk nasabah.
Ketujuh, arahkan level senior turun ke bawah dan memutus prosedur-prosedur yang tidak perlu. Perubahan di level senior tetap harus ada. Menurut Jahja, level senior akan sangat bagus apabila senior mulai mau turun ke bawah dan memutus prosedur-prosedur yang tidak perlu. Konflik akan muncul, baik antardivisi, antarwilayah, maupun antarcabang. Tetapi, itulah pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menjadi lebih baik bersama-sama.
Kedelapan, mengajak generasi Baby Boomers dan generasi X untuk merasakan kemudahan digital. “Dasar misi saya adalah mengajak generasi Baby Boomers dan generasi X yang ingin maju, yakni harus pintar secara pengetahuan. Tujuannya, supaya turut merasakan kemudahan digital,” kata Jahja. Generasi Baby Boomers dan generasi X memiliki value tersendiri bila dibandingkan dengan generasi milenial. CEO BCA mengatakan, kalau secara software, generasi Baby Boomers dan generasi X ini memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dibanding generasi milenial. Orang yang sudah hidup selama 50 tahun tentu memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan orang yang hidup selama 20 tahun. Setiap orang dianugerahi kebijaksanaan yang tidak bisa dimiliki oleh mesin. Hal ini kalau diramu dengan pengetahuan, ibarat tentara dilatih secara fisik untuk menjadi tentara pilihan lalu dibekali dengan persenjataan. Dengan demikian, tentara tersebut dapat menang saat bertempur.
Kesembilan, memperkaya terus wawasan baru dan teknologi. Tampilan boleh saja Baby Boomers atau generasi X, tetapi software tidak boleh ketinggalan dengan milenial. Jahja melakukan pengamatan terhadap perkembangan digital economy. Ia membuktikan bahwa dunia digital economy bukan hanya milik generasi milenial. Ia melakukan pengamatan perilaku generasi milenial. Ia mencoba mencari tahu tentang generasi milenial. “Saya mencari tahu bukan hanya melalui Facebook dan Instagram, tetapi juga Path, Line, dan Telegram,” kata Jahja. Tak hanya itu, ia juga mendalami dengan memperhatikan aplikasi-aplikasi yang tersedia di AppStore dan Google PlayStore. Ia mempelajari keinginan mereka, baik berupa game atau pun penayangan-penayangan langsung yang menyangkut membership mereka.
Kesepuluh, memasukkan tenaga kerja milenial sebagai driving force dalam organisasi. Perubahan dalam internal organisasi dilakukan karena desakan dari internal sendiri maupun eksternal. CEO BCA mengatakan, sangat didukung oleh tim, seperti tim IT dan pemasaran. Ia melakukan pertemuan informal di segala lapisan untuk menerima masukan-masukan yang bersifat positif. Sumber daya manusia BCA juga akan semakin bertambah generasi milenialnya. Ia memprediksikan, penambahan tenaga kerja milenial akan cepat dalam lima tahun ke depan. “Prinsipnya, saya tidak mau menambah karyawan baru, tetapi kalau replacement harus. Misalnya, orang yang keluar berjumlah 10, maka replacement kita batasi lima saja,” kata Jahja. Sekarang, komposisi generasi milenial di BCA sekitar 40%- 45%. Ini akan lebih cepat dalam lima tahun ke depan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: