Pemerintah dituntut lebih terbuka dalam hal utang negara yang membuat banyak pihak khawatir dan serta-merta membuatnya menjadi isu yang seolah membahayakan keuangan negara.
"Kita memang butuh pembiayaan pembangunan. Kalau mau pembiayaan pembangunan, apa saja alternatif dengan meihat kondisi Indonesia. Baru setelah itu utang negara itu ditempatkan di mana. Jadi, ini belum ada keterbukaan, di satu sisi analisanya berlebihan sementara dari sisi pemerintah tidak memberikan informasi yang lebih luas," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Senin (26/3/2018).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah pusat per Februari 2018 mencapai Rp4.034,8 triliun atau tumbuh 13,46% dibanding posisi sama tahun sebelumnya. Utang pemerintah itu masih didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73% dari total utang pemerintah. Sementara total penerbitan SBN, Rp2.359,47 triliun dalam denominasi rupiah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta semua pihak mendudukkan masalah utang pemerintah dalam konteks yang komprehensif karena utang hanya salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian.
Sikap ini diperlukan agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang bisa menyebabkan kondisi tidak produktif.
"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan, dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," ujar Sri Mulyani.
Menurut Menkeu, menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan akan memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah