Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dominasi Perusahaan Papan Atas Makin Tak Terkejar

Dominasi Perusahaan Papan Atas Makin Tak Terkejar Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sepanjang tahun 2017 lalu, konstelasi beberapa perusahaan top asuransi jiwa sebetulnya tidak banyak berubah. Dari sisi aset, PT Prudential Life Assurance berada di urutan teratas dengan aset sebesar Rp71,8 triliun (tumbuh 28,4% secara yoy). Prudential diikuti PT Asuransi Jiwa Manulife yang dengan aset Rp45,6 triliun (tumbuh 24,2% secara yoy), PT Asuransi Jiwasraya sebesar Rp45,1 triliun (tumbuh 80,4% secara yoy), dan PT AIA Financial sebesar Rp44,9 triliun (tumbuh 21,6% secara yoy).

Sementara dari sisi pendapatan premi, tercatat PT Asuransi Jiwasraya meraup Rp21,9 triliun (tumbuh 20,9% secara yoy), disusul PT AIA Financial sebesar Rp10,2 triliun (tumbuh 11,7% secara yoy), dan PT Asuransi Jiwa Manulife sebesar Rp4,6 triliun (tumbuh 137% secara yoy). Adapun PT Prudential Life Assurance masih dalam blackout period (belum bisa menyampaikan pendapatan premi mereka sepanjang 2017 lalu).

Dari sisi laba bersih, baru PT Asuransi Jiwasraya dan PT AIA Financial yang menyampaikan laporan keuangannya, masing-masing sebesar Rp2,4 triliun (tumbuh 126% secara yoy) dan Rp1,4 triliun (turun 35%). Sementara, PT Prudential Life Assurance dan PT Asuransi Jiwa Manulife masih dalam blackout period.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2016 lalu, perusahaan asuransi jiwa terbesar dari sisi aset beruturut-turut adalah PT Prudential Life Assurance dengan aset Rp55,9 triliun, PT AIA Financial Rp36,9 triliun, PT Asuransi Jiwa Manulife sebesar Rp36,7 triliun, PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB) Rp28,1 triliun, PT Allianz Life Rp27,6 triliun, dan PT Asuransi Jiwasraya Rp25 triliun.

Dari sisi pendapatan premi, berturut-turut yang terbesar adalah PT Prudential Life Assurance sebesar Rp26,5 triliun, PT Asuransi Jiwasraya sebesar Rp18,1 triliun, PT AIA Financial sebesar Rp9,13 triliun, PT Allianz Life Rp9,09 triliun, PT Indolife Pensiontama Rp8,83 triliun, dan PT Asuransi Jiwa Manulife Rp8,6 triliun. Dari sisi laba bersih, terbesar berturut-turut PT Prudential Life Assurance Rp5,4 triliun, PT Asuransi Jiwa Manulife Rp1,94 triliun, PT AIA Financial Rp1,93 triliun, PT AXA Mandiri Rp1,2 triliun, dan PT Asuransi Jiwasraya Rp1,06 triliun. 

Menilik catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir Desember 2017, industri asuransi jiwa (58 perusahaan) membukukan pendapatan premi sebesar Rp183,84 triliun. Jumlah ini meningkat 33,4% dari realisasi pada 2016 sebanyak Rp137,78 triliun. Adapun total aset industri mencapai Rp512,9 triliun atau tumbuh 29,8% dari tahun 2016 yang sebesar Rp395,1 triliun. Sementara, laba bersih industri mencapai Rp14,7 triliun atau tumbuh 48,5% dari tahun 2016 sebesar Rp9,9 triliun. 

Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim, menyatakan bahwa dari sisi pangsa pasar, 60% dari total pendapatan premi industri dikuasai oleh 10 perusahaan besar yang mayoritas merupakan perusahaan joint venture (hanya PT Asuransi Jiwasraya dan PT Indolife Pensiontama yang lokal). Jika dipilah berdasarkan produknya, nilai premi dari produk unit link mencapai Rp82 triliun atau setara 45% dari total premi, dan sisanya produk tradisional. Premi tersebut tumbuh 10,8% dari tahun 2016 sebesar Rp74 triliun. Adapun produk unit link tersebut sebesar 90% dikuasai oleh perusahaan joint venture.

“Kami belum menerima data lengkap untuk 2017, tetapi perkiraan untuk premi tumbuh sekitar 20%—30%, antara lain disumbang penambahan jumlah tenaga pemasar, pengembangan produk, serta peningkatan kemitraan untuk saluran distribusi yang dilakukan perusahaan asuransi jiwa,” kata dia.

Fokus pada Keunggulan Masing-Masing

Meski mengejar kue yang sama, sekitar 25 juta penduduk Indonesia atau 10% dari total 250 juta penduduk Indonesia, perusahaan asuransi jiwa joint venture dan lokal tidak pernah bersinggungan pada pangsa pasar yang sama. PT Asuransi Jiwasraya, misalnya, yang tetap fokus pada produk tradisional.

Dari total pendapatan premi sebesar Rp21,8 triliun sepanjang tahun 2017 lalu, kanal distribusi bancassurance berkontribusi 45% terhadap pendapatan premi tersebut, disusul kanal distribusi keagenan 38% dan 17% lainnya berasal dari saluran distribusi alternatif, seperti telemarketing, asuransi jiwa kumpulan (employee benefit), dan unit linked yang masih di bawah 5%.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Muhammad Zamkhani, menyatakan bahwa siklus bisnisnya relatif baru sehingga kanal bancassurance selama 3 atau 4 tahun terakhir dari sisi total premi bruto porsinya selalu di sekitar 50%. Pada saat semua bank sudah memiliki produk asuransi, pertumbuhannya akan biasa-biasa saja. Perusahaan sendiri sudah memiliki 12 partner bank, termasuk QNB dan Standard Chartered. Lalu, employee benefit baik kepada nasabah ritel maupun grup perusahaan BUMN memberi porsi premi terbesar ketiga. Perusahaan sudah menggandeng 32 BUMN dari total 118 BUMN yang ada sebagai mitra.

Sementara untuk produk unit link, pihaknya belum terlalu mau ekspansif. Tahun ini saja targetnya hanya 5% dari total pendapatan premi. Diakuinya selain tantangan dari sisi frontline (agen), karakteristik pasarnya juga berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Kebanyakan pasar unit link adalah generasi milenial dan menengah. 

Mayoritas nasabah Jiwasraya memang berusia 20—50 tahun yang cenderung pada produk dengan premi tunggal. Namun dari sisi kontribusi premi, justru usia 50 tahun ke atas yang pertumbuhannya pesat. Ini juga karena perusahaan ingin fokus pada premi berkala dan lebih berorientasi pada jangka panjang. Produk premi berkala dianggap sebagai suplemen yang sehat bagi perusahaan lantaran perhitungannya berdasarkan individu sehingga risikonya tersebar. Ujungnya, perusahaan lebih fleksibel dalam mengelola dana itu. “Saya kira orangnya (nasabah) harus beda, kalau orang yang sama, sulit. Pertama, karena orang yang pernah muda ‘kan sudah malas mikirlah, biasanya ambil gampangnya saja. Kalau untuk asuransi jiwa kumpulan, kita masih menang,” kata dia. 

Zamkhani juga berharap pada rencana revisi PSAK 24 (amanat kepada perusahaan di setiap tutup buku untuk mencadangkan kewajiban mereka kepada karyawan) dapat menggenjot produk employee benefit kepada nasabah ritel. Selain nasabah ritel, nasabah karyawan BUMN (B2B) juga disasar, on top dari apa yang sudah ditawarkan perusahaan mereka. Umumnya, hitungan berdasarkan cadangan berbeda dan menimbulkan kewajiban. Kewajiban ini bisa dikelola pihak ketiga, seperti DPLK dan perusahaan asuransi.

Menurut Zamkhani, medan persaingannya justru pada aspek memperluas pangsa pasar kepada 225 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki produk asuransi. Dalam hal ini, meningkatkan edukasi dan literasi demi menggarap potensi pasar yang begitu luas. Berbeda dengan negara maju, seperti AS atau Jepang, tingkat kepercayaan, pengetahuan, dan kesadaran penduduknya terhadap perlindungan (asuransi) sangat tinggi, sedangkan di Indonesia asuransi masih menjadi kebutuhan nomor sekian. “Mimpi saya itu seperti di sana, orang yang mencari asuransi dan mereka tinggal memilih perusahaan mana. Asuransi jadi kebutuhan primer,” kata dia.

Kuncinya, terus meningkatkan kompetensi agen dan meningkatkan kecepatan pelayanan untuk memenangi persaingan. Apalagi untuk menggarap pasar generasi muda yang sudah melek dengan berbagai aplikasi media sosial dan perpesanan, perusahaan harus bisa membaca keinginan mereka dan harus lebih aktif. Mau tidak mau, kecepatan layanan menjadi hal penting. Selain itu, yang tidak kalah penting juga adalah inovasi produk. Saat ini, perusahaan menyiapkan produk baru, yaitu JSPNS, yang menyasar PNS khususnya dengan masa kerja belum mencapai usia 10 tahun.

Sementara, Presiden Direktur PT Prudential Life Assurance, Jens Reisch, melihat bahwa produk unit link masih akan mendominasi pasar karena fleksbilitas dan return-nya yang tinggi. Adapun produk alternatif lain, seperti endowment, hanya memberi return sekitar 4% dan deposito 5,5%. Baginya, yang terpenting mendesain unit link se-sophisticated mungkin dan harus lebih simple. Ada banyak pilihan, ada premium holiday, proteksi, dan investasi.

"Kami bisa mendesain investment link untuk semua kelas masyarakat. Tahun lalu, kami meluncurkan Pruprime Healthcare dan ini yang paling tinggi demand-nya di ASEAN dan luar negeri. Penjualannya sangat cepat hampir 60 ribu polis. Saat ini, permintaan unit link yang paling tinggi memang dari produk kesehatan kami,” kata dia.

Perusahaan terus menyiapkan inovasi produk untuk investment link khususnya yang diperkirakan masih akan mendominasi pendapatan premi dalam beberapa tahun ke depan, sekitar 70% hingga 80%. Untuk tahun 2017, diperkirakan secara industri, perusahaan untuk  kategori unit link memiliki pangsa pasar di atas 40% dan proteksi di atas 25%.

Menurut Jens, selain produk unit link, kekuatan utama mereka adalah para agen. Berbeda dengan perusahaan lain yang cenderung meng-approach agen leader dan hanya mau build team of good people, mereka merekrut orang yang mayoritas dari kalangan nonindustri. Mulai dari profesional, fresh graduate, dan ibu rumah tangga.

“Kami memiliki beberapa profil, tidak hanya satu, dan kami juga memberikan training. Contohnya, kalau fresh graduate ini lebih ke arah digital atau milenial style-nya. Sementara, ibu rumah tangga bahasanya sedikit berbeda, lebih umum. Ada juga profesional dan sifatnya lebih fast track karena dia maunya ke leader,” kata Jens.

Playing in Different Field

Hendrisman melihat ada beberapa perbedaaan karakter antara perusahaan asuransi jiwa joint venture dengan lokal. Pertama, dari sisi produk. Jika produk unit link memberikan return berdasarkan pasar, sedangkan employee benefit memberikan guaranted return. Kedua pihak mempunyai cara yang berbeda dalam mengakumulasi investasi. Apa pun hasilnya masing-masing, itulah yang diterima oleh tertanggung. Ambil contoh produk unit link, return-nya naik turun berdasarkan indeks pasar. Sementara, endowment memberikan bunga yang tetap.

Kedua, sisi efisiensi. Dari sisi efisiensi, produk unit link sebetulnya tidak ditanggung kewajibannya sepenuhnya oleh perusahaan asuransi, melainkan manajer investasi yang digandeng perusahaan asuransi tersebut. Dibandingkan produk investasi lainnya, seperti deposito yang hanya memberi return 5% per tahun, tentunya unit link menjanjikan return yang tidak kecil, tetapi seiring peluang yang besar, juga ada risiko yang besar. Risiko ini dikelola oleh manajer investasi. Sebaliknya, perusahaan asuransi dengan produk tradisional memiliki produk yang kewajibannya ditanggung sepenuhnya oleh mereka. Misalnya produk anuitas, mulai dari kewajiban membayar sampai peserta pensiun/ meninggal, jandanya, dan juga anaknya.

Ketiga, dari sisi agen. Agen-agen di asuransi lokal pada umumnya memiliki sertifikat atau lisensi dasar. Pada asuransi joint venture, perekrutan agen biasa melalui jalur tertentu, agen baru, agen menengah, agen ekspatriat, sampai pembentukan leader. Terlebih lagi, jika agen tidak aktif dalam beberapa bulan, mereka akan dimasukkan ke klinik lalu diberi pelatihan sedemikian rupa.

Keempat, dari sisi penetrasi geografis. Asuransi joint venture awalnya cenderung menyebar di kota-kota besar saja dengan sistem agensi, sedangkan perusahaan lokal cukup kuat jaringannya di kabupaten/ kota hingga kecamatan dengan sistem kantor cabang. Namun, kini perusahaan joint venture juga mulai melakukan penetrasi dan head to head hingga ke wilayah kabupaten dan kecamatan. 

Terakhir, sisi branding. Perusahaan joint venture cenderung jor-joran dalam mengenalkan brand mereka. Biaya iklan mereka relatif lebih tinggi, sehingga semakin massif dikenal oleh masyarakat. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: