Pemprov Kalimantan Timur terus mewaspadai dan menjaga jangan sampai daerahnya terjadi tindak kekerasan dan perdagangan manusia (human trafficking), sehingga selain sosialisasi juga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak.
"Untuk mencegah terjadinya kasus human trafficking, salah satu pihak yang kami ajak kerja sama adalah Provinsi Jawa Tengah," ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Halda Arsyad di Samarinda, Sabtu (28/4/2018).
Beberapa hari lalu, lanjutnya, DKP3A Kaltim melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3AKB) Jawa Tengah, tentang penanganan korban kekerasan dan tindak pidana perdagangan manusia.
Ia menjelaskan bahwa dalam waktu 3 tahun terakhir, tindak kekerasan dan tindak perdagangan orang memang terjadi di Jateng, namun perdagangan orang tidak terjadi di Kaltim. Meski demikian, pihaknya tetap menjadikan masalah tersebut sebagai persoalan serius, yakni dalam upaya mengantisipasi agar tidak terjadi, karena tindakan mencegah jauh lebih baik ketimbang menangani setelah adanya kejadian.
Ia menjelaskan bahwa perjanjian kerja sama ini merupakan kelanjutan perjanjian sebelumnya yang akan berakhir pada 30 April 2018, sehingga kerja sama ini jangan sampai terputus.
"Ini merupakan salah satu langkah konkret bagi kami dan merupakan komitmen besar dari kedua provinsi dalam upaya bersama menyukseskan program pemerintah, yaitu Three Ends, suatu tindakan mencegah dan mengakhiri kekerasan, perdagangan manusia, dan ketidakadilan," tuturnya.
Ia mengatakan bahwa sejak berpisahnya Kalimantan Utara (Kaltara) dari Kaltim, maka Kaltim tidak lagi menjadi tujuan perdagangan orang, melainkan menjadi tempat transit untuk menuju Kaltara, sehingga kewaspadaan harus tetap ada. Halda menyebutkan, upaya pencegahan tindak kekerasan dan human trafficking dapat dilakukan melalui beberapa cara, seperti perlu ada perubahan paradigma yang melihat dan memperlakukan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai extraordinary crime yang sejajar dengan masalah terorisme dan narkoba.
Pemangku kepentingan harus melihat kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai sebuah isu dwitunggal (two in one) yang integral dan kompleks ketimbang dua isu yang berdiri terpisah. Untuk itu, katanya, perlu ada sistem institusi pelaksana yang desentralistis dan lebih kuat secara politis, penganggaran, dan memiliki daya jangkau, termasuk efektivitas lebih jauh hingga ke episentrum permasalahan di daerah-daerah.
"Selain itu, perlu dilakukan pemetaan tindak pidana perdagangan orang, baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri. Lainnya adalah peningkatan pendidikan alternatif bagi terutama anak-anak, perempuan, termasuk dengan sarana prasarana pendidikannya," pungkasnya. (HYS/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Hafit Yudi Suprobo