Sepekan terakhir IHSG meradang, Indeks melorot hingga 6,60%. Investor asing mulai menjual saham berkapitalisasi besar dengan nilai Rp5,3 Triliun. Benarkah investor melakukan strategi “Sell in May and Go Away” ?
Independent Financial Advisor, Indra Harsaputra mengatakan, Madden Julian Oscilation mewarnai cuaca penghujung bulan April yang tak menentu rupanya menyeruak masuk pasar saham di Indonesia.
"Hingga Kamis, (26/4/2018) IHSG telah melewati level terbawah dan terus meluncur hingga 2,81% ke level 5.909,19 poin. Pada Jumat sore (27/4/2018), IHSG ditutup naik tipis 10,04 point atau setara 0,17 % ke posisi 5.919,24," tegas Indra pada Warta Ekonomi di Surabaya, Sabtu (28/4/2108)
Meski indeks rebound, kata Indra, namun pemodal asing masih melakukan aksi jual. Net sell asing di semua pasar mencapai Rp357,83 miliar.
Investor asing paling banyak melego saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai penjualan bersih mencapai Rp171,2 miliar. Diikuti, saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT United Tractors Tbk (UNTR) dengan nilai net sell oleh asing masing-masing sebesar Rp82,2 miliar dan Rp70,8 miliar.
"Tak heran, hari ini, saham ADRO tereseret ke posisi top losers atau saham dengan kinerja terburuk dari jajaran indeks LQ45. Saham tambang ini ditutup merosot 8,27%. Dikuti, saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang tumbang 6,33% dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dengan penurunan sebesar 4,42%," ungkapnya
Di sisi lain lanjut Indra, posisi top gainers saham LQ45 ditempati PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang berhasil naik 3,16%. Ditemani, saham PT Global Mediacom Tbk (BMTR) yang menguat 2,83% dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan kenaikan 2,61%.
Beberapa saham yang paling banyak dilepas oleh asing adalah Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar Rp569 miliar, Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp475 miliar, Bank Central Asia, Tbk Rp104 miliar, Astra Internasional, sebesar Rp94 miliar, dan Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk senilai Rp65 miliar.
Terlepas dari faktor eksternal seperti suku bunga bank sentral Amerika The Fed yang terus meningkat dan diprediksikan akan kembali meningkat hingga tiga kali tahun ini, isu perang dagang antara China dan Amerika, serta kondisi geopolitik Amerika dan Suriah yang sedang memanas beberapa waktu belakangan, turunnya indeks pada bulan April sebenarnya bisa diprediksi.
"Seperti kata pepatah “Sell in May and Go Away”, yang artinya juallah pada bulan Mei dan jangan kembali sampai peringatan Santo Lutgar, Oktober nanti," katanya
Dikatakan pula oleh Indra, Jika diamati pertumbuhan pasar saham pada Maret 2018 mencapai 21,15 % year on year (yoy), aktivitas pasar yang masih cukup tinggi didukung oleh 40.000 investor dengan frekuensi transaksi hingga 386.000. Itu artinya dana asing yang tidak lari, tetapi berpindah dari pasar saham ke obligasi. Total dana asing yang berpindah ke pasar surat utang adalah UD$8,5 millar dalam setahun.
“Sell in May and Go Away” merupakan salah satu strategi investasi yang didapat dari penelitian statistik terhadap Dow Jones dan S&P. Dalam penelitian tersebut disebutkan seorang investor akan mendapatkan tingkat return yang jauh lebih baik jika berinvestasi pada saham selama 6 bulan terbaik saham (dari November hingga April) dan mengalihkan ke Obligasi selama 6 bulan terburuk saham (dari Mei hingga Oktober), dibandingkan sebaliknya. Sebagai contoh, dari hasil penelitian di atas, jika anda menginvestasi uang sebesar US$10.000 pada tahun 1950 hingga 2007, dengan strategi di atas uang anda akan berkembang menjadi US$578.413. Namun jika anda melakukan sebaliknya, maka dana tersebut akan tersisa US$341.
"Jadi, Sell in May and Go Away bukanlah menjual saham pada bulan Mei dan masuk pada bulan-bulan selanjutnya, akan tetapi merupakan strategi investasi untuk menempatkan dana secara bergantian pada saham dan obligasi, dimana periode terbaik menurut teori adalah masuk saham pada Akhir Oktober dan menjualnya pada Akhir April. Dana Tersebut kemudian diinvestasi pada Obligasi dan baru dialihkan ke saham lagi pada Akhir Oktober tahun berikutnya," bebernya
Berpindahnya dana asing ke pasar obligasi ini, menandakan dana asing masih ada di Indonesia. Hal ini dinilainya tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bagus. Selain itu tingkat kepercayaan investor asing terhadap Indonesia masih tinggi.
Pertama, keputusan Moody’s menaikkan sovereign rating Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2, dari outlook positive menjadi stable yang diyakini akan memicu sentimen positif bagi pasar.
Selain itu, obligasi Indonesia akan segera masuk dalam Indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate pada Juni mendatang.
Menurutnya, kombinasi dari masuknya obligasi Indonesia ke dalam indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate dan kenaikan rating Fitch dan Moody’s berpotensi menarik aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia.
"Wall street dan pasar saham memiliki tradisi. Itu bukan seperti lirik November Rain; Use You Illusion I, Guns N’ Roses (GNR)," tutup Indra.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Vicky Fadil