Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AP II dan Visi Besarnya Menjadi Aerotropolis

AP II dan Visi Besarnya Menjadi Aerotropolis Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Salah satu dari tiga Game Changers PT Angkasa Pura II berbunyi “Growth Beyond Core”. Core business pengelola bandar udara, yakni aeronautical, meliputi fee dari landing & take-off pesawat, fee apron, pelayanan penumpang pesawat udara (airport tax), pemakaian garbarata (aviobridge), dan pemakaian counter check-in oleh maskapai. Semua tarif bisnis aeronautical ditentukan oleh pemerintah cq Kementerian Perhubungan.

Sumber pendapatan lain lazimnya airport operator di dunia termasuk AP II, yakni dari bisnis nonaeronautical (non-core business), seperti penyewaan space untuk usaha komersial (sewa perkantoran, sewa gudang, dan papan reklame), parkir inap kendaraan bermotor, konsesi (toko buku, gerai resto & coffee shop, dan gerai produk fashion), jasa utilitas (check-in counter system), screening, processing, and cargo handling. Tarif di bisnis nonaeronautical sepenuhnya dalam kendali AP II.

Sepanjang tiga puluh tiga tahun usia AP II menjadi airport operator, sumber pendapatan perusahaan utama masih dari bisnis aeronautical. Kalau menurut perhitungan Awaluddin, CEO AP II, komposisi pendapatan aeronautical sebesar 59% dan bisnis nonaeronautical 41%. Ambil contoh pendapatan perusahaan pada 2017 sebesar Rp8,1 triliun. Itu artinya, Rp4,7 triliun berasal dari bisnis aeronautical dan Rp3,3 triliun dari bisnis nonaeronautical.

Melalui Game Changers AP II, formasi tersebut mau dibalik, bisnis nonaeronautical lebih besar menyumbang pendapatan perusahaan dibanding bisnis aeronautical. Kalau menengok ke airport operator di negeri jiran, seperti Singapura dan Malaysia, formasi pendapatan perusahaan 60% dari nonaeronautical dan 40% dari aeronautical. Begitu pula di Eropa perbandingannya 56% (non-core) dan 46% (core). Di Amerika Serikat pun 59% (non-core), sedangkan 41% (core).

Melihat tren global seperti itu, tidaklah heran apabila AP II menempatkan “Growth Beyond Core” sebagai game changers perusahaan. Tinggal persoalannya, bagaimana hal itu diimplementasikan. Langkah nyata itu berupa optimalisasi tiga anak usaha perusahaan yang ada saat ini— PT Angkasa Pura Solusi, PT Angkasa Pura Propertindo, dan PT Angkasa Pura Kargo—sebagai sumber penghasil pendapatan perusahaan. Misalnya, PT APS yang menggarap bisnis facility services dan passenger services berbasis digital menjadi perusahaan dengan pendapatan Rp1 triliun pada 2018.

Dari bisnis kargo melalui PT APK, AP II membangun Cargo Village di Bandara Soetta dengan luas 30 hektare, dengan nilai investasi Rp2,1 triliun. Dengan fasilitas Cargo Village itu, pergerakan kargo diharapkan terus meningkat dari saat ini sekitar 626.046 ton menjadi 1,5 juta ton pada 2020. Lonjakan dari bisnis kargo akan menambah pendapatan perusahaan. Begitu pula AP II melalui PT APP berniat membangun hotel bandara di Soetta dan Kualanamu. Hotel ini akan menambah fasilitas bandara yang berpeluang menjadi kota dalam kota. Konsep ini dikenal sebagai aerotropolis.

Melalui gagasan yang diperkenalkan John D. Kasarda, pengajar UNC’s Kenan Institute of Private Enterprises, aerotropolis menjadikan bandara sebagai kota baru mandiri yang dikelilingi klaster-klaster perusahaan yang berbisnis dengan airport dan fasilitas leisure, serta perumahan karyawan bandara. Awaluddin kini menatap bandara bukan lagi sebatas tempat orang datang dan pergi, tetapi bakal menjadi sebuah kota baru yang mandiri. Banyak bisnis bisa dikreasi di aerotropolis. Aerotropolis merupakan Game Changers itu. Inilah visi besar AP II menjadikan bandara sebagai aerotropolis.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: