Myanmar menyatakan bersedia menerima seluruh 700.000 pengungsi Rohingya yang lari ke Bangladesh jika mereka dengan sukarela kembali. Demikian yang diungkapkan Penasihat Keamanan Negara, Thaung Tun, Sabtu (2/6/2018).
Ia berbicara di Pembicaraan Shangri-La, pertemuan keamanan kawasan di Singapura, tempat ia ditanya apakah keadaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, tempat sebagian besar warga Rohingya tinggal, dapat memicu penggunaan kerangka Tanggung Jawab untuk Melindungi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kerangka R2P itu diputuskan pada temu puncak dunia PBB pada 2005, tempat negara sepakat melindungi warga mereka dari pemunahan, kejahatan perang, pembersihan suku dan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta menerima tanggung jawab bersama untuk mendorong dan membantu satu sama lain menjunjung tinggi tekad tersebut.
"Jika Anda dapat mengirim kembali 700.000 orang secara sukarela, kami bersedia menerima mereka," kata Thaung Tun. "Bisakah itu disebut pembersihan suku?"
"Tidak ada perang di sana sehingga itu bukan kejahatan perang. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu bisa menjadi pertimbangan, tapi kita perlu bukti jelas. Tuduhan berat itu harus dibuktikan dan seharusnya tidak disinggung dengan ringan," katanya.
Sejak Agustus 2017, sekitar 700.000 warga Rohingya lari dari penumpasan oleh tentara di Myanmar dengan banyak laporan tentang pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran dalam ukuran besar, kata PBB dan badan bantuan lain.
PBB dan badan bantuan menggambarkan tindakan keras terhadap Rohingya itu sebagai "contoh pembersihan suku seperti di buku teks" yang ditolak Myanmar.
Myanmar dan Bangladesh pada Januari sepakat menyelesaikan pemulangan sukarela pengungsi itu dalam waktu dua tahun. Myanmar menandatangani perjanjian dengan PBB pada Kamis (31//5/2018) untuk memungkinkan warga Rohingya yang berlindung di Bangladesh kembali dengan selamat dan karena pilihannya.
Dikatakannya pula bahwa Myanmar akan membentuk panitia mandiri untuk menyelidiki "pelanggaran hak asasi manusia dan masalah terkait" di negara bagian Rakhine setelah gerakan tentara di sana sebagai tanggapan atas serangan gerilyawan Rohingya terhadap pos keamanan.
Thaung Tun mengatakan bahwa pernyataan tentang yang terjadi di Rakhine "tidak lengkap dan menyesatkan".
"Myanmar tidak menyangkal yang terjadi di Rakhine utara adalah bencana kemanusiaan," katanya.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat muslim di Rakhine menderita. Warga Buddha Rakhine, Hindu, dan suku kecil lain tidak kurang menderita."
Ia mengatakan bahwa sementara militer memiliki hak membela negara jika penyelidikan menunjukkan mereka bertindak secara tidak sah, tindakan akan diambil. (FNH/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: