Seri Tulisan Witjaksono: Asset Capital VS Social Capital (1)
Oleh: Witjaksono, Pembina Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia
Sejenak aku termenung mengingat kejadian masa lalu. Pada tahun 2004 silam aku datang ke Jakarta hanya dengan modal nekad. Jangankan bermodalkan uang, modal teman pun sangat terbatas. Kalau bahasa keren dalam istilah ekonomi, saya datang ke Jakarta dengan zero capital dan zero social. Atau bahasa ndesonya: modal dengkul. Ha, ha, ha.
Aku mengingat betul harus memeras otak cukup kencang untuk menghasilkan suatu perubahan hidup. Badanku harus di-set up AutoSign untuk melihat sinyal-sinyal rezeki yang tidak bisa ditunggu tapi harus dicari dengan ikhtiar. Berangkat subuh dan pulang tengah malam, hanya untuk menepis sebuah keadaan yaitu keterbatasan.
Iya, betul semua serba terbatas yaitu keterbatasan waktu, pikiran, tenaga, dan ekonomi. Tapi, sebagai insan kita wajib untuk melakukan ikhtiar untuk mengubah keterbatasan menjadi sebuah kenikmatan. Apalagi, pada hakikatnya manusia selalu merasa tidak pernah cukup.
Pernah atau tidak kita berpikir untuk memulai usaha atau memperbesar usaha selalu terbentur dengan masalah finansial? Pasti jawabnya: iya. Otak kita terlalu banyak terpatri bahwa modal itu pasti persoalan finansial (uang), padahal itu konsep yang salah total. Semua itu bermuara dari dalam hati dan tertransfer ke dalam otak dan diterjemahkan dalam tindakan.
Aset, mungkin semua orang sudah tahu terjemahan secara harfiah. Nah, kalau kita merasa sangat miskin dan tidak punya aset apapun maka apa aset yang kita punya? Banyak orang lupa kalau aset termahal dalam kehidupan adalah jasad tubuh kita. Apakah badan kita yang sempurna dan sehat ini masih dianggap miskin? Mau coba dihitung? Tidak akan cukup waktu untuk menghitungnya.
Pengertian modal yang berupa aset itu bisa bentuknya current (liquid) yang berupa cash/uang, piutang, stock, dan masih banyak lagi. Kemudian berupa fixed asset atau bentuknya barang (nah badan kita masuk di dalamnya, tapi tidak bisa dimasukkan di pembukuan ya. Ha, ha, ha.
Contoh nyatanya, wajah cantik dan wajah ganteng seorang artis model adalah modal utama untuk mendapat rezeki lewat pemotretan. Berarti, mereka bisa me-leverage tubuh mereka menjadi sebuah aset tak ternilai yang bisa ditransformasi menjadi sebuah rezeki. Sepatutnya hal seperti ini tidak hanya berlaku di dunia hiburan, namun setiap individu bisa melakukan dengan kombinasi kegigihan, kinerja, loyalitas, dan berbagai kompleksitas yang mengikuti.
Nah, dari sini sahabatku sudah bisa mulai ukur, kalian akan mulai me -leverage asset kalian dari sisi mana? Dari paparan di atas, modal utama aset adalah individu kita sendiri yang dapat memberikan dampak terhadap aset lain secara material. Seperti halnya apabila kita saat ini punya tanah kosong yang luasnya satu hektare pun akan tidak memberikan efek ekonomi kalau secara pribadi malas dan tidak mau mengerjakan tanah itu.
Kemudian korelasi dari sebuah modal (apapun bentuknya) apabila diakumulasi dan ditata kelola dari modal yang sudah ditanamkan di dalam kegiatan usaha/organisasi itu barulah kita sebut dengan nama ekuitas (berarti kita bahas asset equity) Memang, kalau bahas equity harus tergambar secara teknis.
Ekuitas itu porsi tersendiri dalam sebuah pembukuan yang merupakan represent atas kepentingan pemilik modal. Bisa dipakai untuk menaruh, bisa juga untuk diambil, atau bahkan bisa dipakai untuk tempat penitipan. Ibarat mobil di mana bagasi adalah sebagai equity-nya maka hasil kerja mobil dan segala sesuatu yang berhubungan dengan supir (pemilik) masih dapat dibongkar pasang untuk performance atau kenyamanan kendaraan.
Coba bayangkan, kalau salah satu roda mobil diambil? Atau setir mobil diambil? Atau mesin mobil dicopot? Ya, pasti mobil akan berhenti total.. Oleh sebab itu, keberlangsungan usaha/organisasi yang kita bentuk tentunya tidak jauh beda apabil kita menjalankan sebuah kendaraan (vehicle) yang harus tetap bergerak meskipun pelan, terjal, lancar, atau bahkan menabrak rintangan. Kalau terjadi tabrakan maut maka akibatnya berhenti atau mati.
Pemahaman sebuah aset apabila hanya dipahami adalah sebatas lingkup harta benda maka akan menimbulkan kecemburuan yang mendalam apabila terjadi gejolak keterbatasan atau terjadi goncangan keadaan. Jadikan, impact asset harta benda itu sebagai booster atas kinerja dan jangan terbalik menjadikan aset harta benda sebagai mesin utama dalam menjalankan performa.
Selalu berpikir positif dalam setiap keadaan dan berprasangka baik atas kehendak-Nya. Lalu bagaimana sebuah keadaan sosial dapat mempengaruhi sebuah perkembangan aset? Atau bahkan bisa dibilang bahwa sebuah konsolidasi keadaan sosial bisa diklaim sebagai sebuah aset? Nanti akan saya bahas di Part 2 di Social Capital. Berjuta juta cara, berjuta juta semangat, berjuta juta manfaat, untuk mendapat rahmat. Million Ways.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: