Indonesia belum siap mengikuti pemberlakuan upah standar ASEAN. Pemberlakuan ini harus mempertimbangkan kondisi para pelaku usaha dan industri di Indonesia.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy, mengatakan, inisiatif Indonesia unuk mengusulkan adanya upah minimun di ASEAN sangat bagus. Namun, hal ini harus diikuti adanya pembenahan internal terkait pengupahan di dalam negeri. Standardisasi upah pekerja ASEAN akan sangat berdampak pada industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dikhawatirkan hal ini akan mengganggu iklim ekonomi yang kondusif dan membebani ongkos produksi perusahaan.
"Besar kemungkinan, mereka akan protes karena merekalah yang akan terkena dampak harus menaikan upah para kerja. Hal ini juga berpotensi mengganggu jalannya kegiatan ekonomi. Pemerintah seharusnya fokus pada pembenahan pengupahan domestik dulu," jelas Imelda dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Walaupun begitu, kalau pemberlakukan standarisasi upah ASEAN ini jadi dilakukan, hal ini akan menambah banyaknya peluang potensi investasi asing yang masuk ke Indonesia. Hal ini terjadi karena kalau sebelumnya para investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya di negara Vietnam dan Kamboja yang upah tenaga kerjanya lebih rendah maka setelah standarisasi upah dijalankan, para investor dapat beralih ke Indonesia.
"Perlu ada perhitungan yang seksama dan juga titik temu dari pihak industri dan juga serikat pekerja. Sampai saat ini saja, Upah Minimum Regional (UMR) nasional belum terstandar, tapi sekarang sudah langsung ada wacana standardisasi upah ASEAN. Jangan sampai ambisi pemerintah ini akhirnya mengorbankan salah satu pihak," jelasnya.
Pemerintah mengusulkan pembentukan UMR untuk kawasan ASEAN. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesenjangan upah para tenaga kerja di antara negara-negara ASEAN.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: