Dewan Energi Nasional tengah menyusun peta jalan (roadmap) energi nuklir. Roadmap pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir telah ditetapkan dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) hingga 2050.
Anggota Dewan Energi Nasional, Abadi Purnomo, menyatakan, masyarakat tidak perlu khawatir terkait keberadaan energi nuklir di Indonesia. Ia pun mengaku, teknologi energi nuklir telah dapat dipertanggungjawabkan kendati untuk membangun pembangkit listriknya membutuhkan biaya besar.
"Pembangkit nuklir sudah pada tahapan aman. Selain itu, energi nuklir juga menghasilkan harga lebih murah dibandingkan energi lain," kata dia di Jakarta, kamis (28/6/2018).
Dicontohkan, PLTN Fukushima di Jepang teknologinya sudah canggih dan aman walaupun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) membutuhkan biaya besar sekitar US$7 juta per megawatt (MW).
Dia melanjutkan, teknologi PLTN di Jepang telah dibuat lebih canggih pasca dilanda gempa beberapa tahun lalu. "Bahkan, kubahnya ditabrak pesawat tidak akan hancur dan gempa 8 SR tidak akan gerak," ungkapnya.
Dia menambahkan, PLTN mampu menghasilkan kapasitas sebesar 1.000-2.000 MW. Pembangunan PLTN tersebut tak lain untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia yang diperkirakan ke depan akan terus meningkat secara pesat.
"Tak perlu menunggu energi fosil habis dulu baru membangun PLTN. Lebih baik disiapkan sedini mungkin," kata dia.
Dia juga menjelaskan, peta jalan energi nuklir telah disetujui Presiden Joko Widodo dalam rapat paripurna ke tiga Dewan Energi Nasional.
"Sesuai rapat paripurna, seharusnya kita sudah membangun PLTN karena membutuhkan waktu lama, 7-10 tahun. Bahkan, di India pembangunan PLTN sampai 16 tahun," ucapnya.
Selain membangun energi nuklir, lanjutnya, pengembangan EBT juga harus di dorong secara masif. Dewan Energi Nasional tetap mendorong target pengembangan EBT tercapai 23% sampai 2025.
"Kami tetap mendorong pengembangan EBT hingga 23 persen sampai 2025. Memang, salah satu kendalanya terkait pendanaan dengan tingkat bunga rendah," ujar dia.
Namun, lanjutnya, pemerintah sepertinya telah berupaya untuk mencari solusi finansial agar pendanaan untuk proyek EBT bagi para pengembang bisa terbantu. Salah satunya dengan mengajak pemangku kepentingan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membicarakan masalah kemudahan pendanaan proyek EBT. OJK pun bersedia membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU).
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Harris, membenarkan hal itu. Sebanyak 13 perusahaan telah menyampaikan profilnya untuk diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tiga belas perusahaan tersebut merupakan bagian dari 42 perusahaan yang memiliki kendala pendanaan dalam menggarap proyek energi baru terbarukan (EBT). Seluruh perusahaan itu telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Dalam PPA disebutkan, pencarian pendanaan diberikan waktu selama 12 bulan sejak penandatanganan.
"Saat ini, baru ada 13 perusahaan yang menyampaikan profilnya. Mereka umumnya mempermasalahkan bunga bank tinggi. Kami akan teruskan informasi tersebut ke OJK untuk selanjutnya akan dibahas bersama dengan OJK dalam penentuan opsi mekanisme pendanaannya," kata dia.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Pajak, Hestu Yoga Saksama, menambahkan, selain pendanaan, kendala mengembangkan EBT juga terkait kebijakan fiskal. Pasalnya, pengembangan EBT hingga kini masih berbenturan terkait kebijakan fiskal dengan energi fosil. Kebijakan insentif untuk EBT juga harus merasionalisasi kebijakan mengenai subsidi untuk BBM.
"Sebab itu, jika kita ingin mengembangkan EBT maka harus memberikan insentif. Kemudian untuk fosil harus diberikan disinsentif," kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), capaian investasi sektor EBT hingga April 2018 mencapai 14,7% dari target tahun ini. Selama Januari hingga Maret 2018, realisasi investasi mencapai US$294 juta. Padahal, targetnya US$2,01 miliar.
Rinciannya, realisasi investasi paling besar berasal dari panas bumi sebesar US$1,21 miliar. Kemudian, aneka EBT US$718 juta, disusul investasi bioenergi US$72 juta, dan terakhir US$5 juta berasal dari investasi konservasi energi.
Tahun ini rencananya akan ada 512 MW pembangkit EBT yang akan dibangun. Terdapat 11 wilayah prioritas pengembangan EBT yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Total potensi EBT sekitar 225 Giga Watt (GW).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Fauziah Nurul Hidayah