- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Sepenuh Hati Menyambut PLTN: Kesempatan dari Thorcon untuk Indonesia
Oleh: Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto, Ketua Umum MEBNI
Kredit Foto: Istimewa
Maju-mundur langkah pemerintah dalam meneguhkan tekad membangun PLTN di Indonesia bukan lagi hal yang baru, dan bila dibahasakan dengan lebih tegas, telah berlarut-larut dari komitmen target awalnya, sekitar tahun 60an, sejak Presiden pertama Soekarno memerintah.
Saking seriusnya, Soekarno sampai membentuk Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang jadi cikal-bakal bagi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) melalui UU No. 31 Th. 1964, organisasi pelaksana yang saat ini telah dibubarkan dan digabungkan bersama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Soekarno pula-lah, yang meresmikan pengoperasian reaktor nuklir pertama Indonesia, TRIGA-Mark II di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1965.
Bahkan sejak awal terbentuknya International Energy Atomic Agancy (IAEA) pada 1957, Indonesia adalah satu diantara 55 negara anggota pertama. Hari ini, hingga 68 tahun sejak tergabung dalam keanggotaan IAEA, atau 64 tahun sejak reaktor pertama di Bandung diresmikan, Indonesia masih belum berhasil membangun PLTN pertama.
Bukan tanpa alasan, kehadiran PLTN di tanah air sama sekali bukan bertujuan untuk sekadar "mewujudkan cita-cita pendiri bangsa", tetapi jauh lebih besar dari itu, sebagai solusi atas kebutuhan kontemporer pembangunan yang semakin menuntut lompatan-lompatan besar ke depan. Karenanya, seiring waktu, pentingnya peran PLTN untuk masuk dalam bauran energi semakin besar, dan dengan kondisi ekonomi-lingkungan dewasa ini, keberadannya telah menjadi semakin relevan.
Teknologi Yang Berkembang Pesat
Para insinyur ketenaganukliran Indonesia tentu tidak dapat lupa, bagaimana dekatnya bangsa ini dari operasi PLTN pertama yang dicanangkan untuk terbangun di Muria, Jawa Tengah, pada 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Persiapan-persiapan telah dilakukan sedemikian lengkap, dan perhitungan dilakukan dengan detail sampai pada aspek teknikalnya.
Namun sayang, rencana itu menjadi senyap seolah tak pernah ada, setidak-tidaknya karena dua hal: gelombang krisis ekonomi yang memukul stabilitas finansial dan politik negara, dan gelombang penolakan masyarakat yang belum dapat ‘move on’ dari kejadian Chernobyl, sekitar satu dekade sebelumnya.
Sejak muria, rencana untuk memiliki PLTN tidak pernah benar-benar sedemikian dekat lagi, hingga hari ini. Kendati BATAN telah melakukan sejumlah feasibility study di lokasi potensial pembangunan PLTN, dan pengembang teknologi asal Amerika Serikat bersama anak usaha PT PLN (Persero) juga melakukan kajian-kajian di Bangka dan Kalimantan pada 2010an, namun rencana tersebut kemudian tenggelam, tidak berhasil timbul menjadi solusi yang benar-benar terlaksana.
Kejadian yang menimpa reaktor RBMK di Chernobyl pada 1986 adalah duka luar biasa, yang membebani industri nuklir di seluruh dunia hingga hari ini. Ditambah pula, insiden Three Mile Island pada 1979, dan Fukushima pada 2011 lalu. Insiden-insiden tersebutlah, yang hingga kini selalu disebut-sebut sebagai argumen paling valid untuk menolak kehadiran PLTN di tanah air, sesuatu yang, dalam perspektif lebih luas, tidak lagi menjadi cukup relevan.
Dapatlah diterangkan begini, pertama-tama, tidak terdapat teknologi tanpa resiko, sebagaimana penggunaan batubara, minyak, dan gas, yang menurut statistik lebih berbahaya dibandingkan apa yang dihasilkan dari operasi PLTN. Kedua, bahwa secara frekuensi, insiden pada teknologi PLTN berdampak jauh lebih kecil, dibandingkan dengan pembangkit konvensional dan sejumlah sumber terbarukan. Dengan tidak bermaksud menolak sumber energi konvensional dan terbarukan, pemahaman ini adalah untuk menunjukkan bahwa semua jenis sumber energi memiliki risiko, dan PLTN yang kerap dinilai paling berbahaya, sebenarnya adalah yang paling aman diawali dengan perijinan dan pengawasan yasng sangat ketat.
Selain itu teknologi PLTN telah berkembang, dan insiden yang terjadi di masa lalu menjadi pembelajaran berharga yang memacu perbaikan. Tidak satupun negara, baik Ukraina, Amerika Serikat, maupun Jepang, yang mengalami insiden, kemudian meninggalkan nuklir. PLTN tetap diandalkan dan menjadi sumber energi paling bersih yang digunakan oleh negara-negara tersebut.
Terkadang, fakta sederhana bahwa perkembangan teknologi PLTN telah secara efektif, mampu meminimalisasi potensi risiko terjadinya insiden nuklir, masih tidak dapat diterima, saat ketakutan tanpa usaha memahami secara lengkap telah menjadi semacam ‘kebenaran umum’ atau fobia ketakutan, hal yang sangat disayangkan, disaat ilmu dan pengetahuan telah demikian maju dan dengan mudah diperoleh. Tentu, sebagai para pendahulu, harapan kami ialah pada generasi muda, yang dapat lebih mempertimbangkan secara bijak dan menaruh perhatian serius pada ilmu pengetahuan, agar nuklir dipahami sebagaimana adanya.
Kebutuhan Masa Kini dan Masa Depan
Negara negara di dunia telah sepakat untuk menekan emisi gas rumah kaca melalui komitmen Net Zero Emission 2060 melalui Paris Agreement 2015, dan Indonesia berada di dalam barisan itu. Pemerintahan Presiden Prabowo juga telah menegaskan kembali komitmen tersebut, termasuk dalam pidatonya di markas PBB pada 24 September lalu.
Untuk mencapai NZE, Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mempercepat penggunaan energi baru dan terbarukan. Namun data bauran energi 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 80% listrik kita masih ditopang oleh fosil, sementara energi terbarukan belum menyentuh angka 14%, jauh dari target pemerintah sebesar 23%.
Kesenjangan ini membuat pemerintah membutuhkan sumber energi yang kuat, stabil, dan mampu menjadi tulang punggung sistem listrik. Inilah ruang yang secara logis terbuka bagi opsi PLTN.
Pemenuhan NZE bukan hanya soal memenuhi kewajiban internasional, tetapi tentang menyelamatkan masa depan iklim dan generasi berikutnya. Energi nuklir berada pada posisi unik, karena mampu menghasilkan listrik besar dan stabil tanpa menghasilkan emisi karbon.
Dalam konteks itu, sulit mengabaikan PLTN sebagai bagian dari strategi energi bersih Indonesia. RUPTL 2025-2034 menunjukkan bahwa PLN tidak akan mempensiunkan PLTU sekaligus, tetapi memilih pengurangan bertahap. Pendekatan ini memang lebih lambat, tetapi realistis mengingat PLTU masih menjadi tulang punggung suplai listrik nasional saat ini.
Untuk mengganti peran PLTU, Indonesia membutuhkan sumber energi baseload, yakni pembangkit yang besar dan stabil, tidak bergantung cuaca, dan mampu memasok listrik untuk beban dasar / baseload. PLTS dan PLTB dapat membantu pada jam puncak, tetapi tidak dapat menggantikan fungsi baseload. PLTA dapat berfungsi di wilayah yang memiliki sumber air memadai, sementara PLTN menjadi opsi paling kuat di wilayah lain yang aman secara seismik.
PLTN menawarkan stabilitas seperti PLTU, tetapi tanpa emisi dan tanpa ketergantungan pada cuaca. Dengan penurunan bertahap PLTU, PLTN dapat mengambil peran sebagai tulang punggung energi nasional yang baru. Pendekatan ini memastikan pasokan listrik tetap aman selama masa transisi dan menjaga agar ekonomi serta aktivitas masyarakat tidak terganggu.
Peran penting PLTN dalam bauran energi masa depan telah disadari, dan target pemerintah saat ini, menunjukkan hal tersebut. Tidak terdapat keraguan, seharusnya, bahwa nuklir akan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam skenario transisi energi. Pada 2060 mendatang, PLTN akan menyumbang energi dengan kapasitas sekitar 40 GW, sesuatu yang tidak akan dapat dicapai bila kita, sebagai bangsa, masih berpendapat bahwa ‘kita belum siap, lakukan saja nanti’.
Menyambut Niat Baik Pengembang Teknologi PLTN
Dileburnya BATAN ke dalam BRIN pada 2020, dalam pandangan kami, dapat ditafsirkan sebagai sebuah setback dalam dunia industri ketenaganukliran Indonesia. Berubahnya struktur BATAN dari sebuah lembaga independen menjadi satu fungsi dari BRIN menghilangkan keberadaan lembaga pelaksana yang merencanakan program litbang nuklir, melengkapi BAPETEN yang berperan sebagai lembaga regulator.
Karenanya, timbul pertanyaan kemudian, siapa atau lembaga mana yang berwenang atas rencana pembangunan PLTN, atau setidak-tidaknya, yang mewakili negara dalam merencanakan program industri ketenaganukliran. Jangan sampai, tentu, hilangnya BATAN menarik pula rencana pembangunan PLTN yang dulu sempat mendekati implementasinya.
Kendati fungsi-fungsi lembaga negara yang berwenang atas urusan ketenaganukliran berubah-ubah, terdapat angin segar, terlebih bagi para insinyur dan praktisi ketenaganukliran tanah air, dengan hadirnya pihak swasta yang mendorong pembangunan PLTN di Indonesia. Para pengembang teknologi tersebut menawarkan spesifikasi teknologi yang bermacam-macam, dari yang mengusulkan untuk membuat proyotype melisensikannya, hingga membangun dengan teknologi yang sudah siap (proven). Tawaran yang berbeda, program yang berbeda, dan teknologi yang berbeda.
Kehadiran perusahaan swasta pengembang teknologi tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan pihak swasta terhadap keseriusan pemerintah dalam memanfaatkan teknologi PLTN, masihlah ada, dan bahwa nuklir, kali ini, akan benar-benar dapat direalisasikan. Diantara perusahaan swasta tersebut, dapat dicatat, bahwa yang paling menunjukkan keseriusan hingga saat ini, adalah Thorcon International, yang kehadirannya di Indonesia diwakili oleh PT Thorcon Power Indonesia.
Menurut laman resmi perusahaanya, Thorcon sudah ada di Indonesia sejak 2015 sebagai kantor perwakilan dengan nama Martingale Inc., lalu pada 2018 menjadi kantor perwakilan Thorcon International (representative office), dan pada 2021 menjadi PT Thorcon Power Indonesia. Sejak sebelum regulasi menargetkan pembangunan PLTN secara jelas dan tegas, yang baru muncul pada RUPRL 2025-2034, Thorcon sudah turut mengawal, menjalankan kajian-kajian, dan sosialisasi di masyarakat. Thorcon juga diketahui, dalam operasinya di Indonesia, dijalankan oleh tenaga kerja Indonesia.
Dengan segala tantangan yang dihadapi, Thorcon menunjukkan kegigihan untuk tetap mematuhi perizinan, pengawasan dan memenuhi regulasi terkait keselamatan, keamanan, dan safegard yang ketat. Meskipun lama prosesnya, Thorcon sudah menunjukkan, dengan tegas, untuk tidak akan mundur dalam prosesnya.
Mencermati sejumlah pendapat yang berkembang, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat keraguan terhadap sejumlah aspek pada proyek PLTN yang dijalankan oleh Thorcon, termasuk pada aspek teknologi, pemilihan lokasi, hingga pelaksanaan sosialisasi dan edukasi. Namun, bolehlah dikatakan, bahwa hal demikian adalah sangat lumrah dan tidak dapat dihindari sepenuhnya, bahwa suatu proyek besar (dan baru) akan dihadapkan pada kondisi-kondisi lapangan yang real dan harus dihadapi. Belajar dari pengalaman, kondisi-kondisi yang belum siap tersebut tersebut tidak seharusnya menjadi penghalang yang harus dihindari, melainkan, sebagai catatan perbaikan agar dapat mengusahakan menjadi ‘lebih baik dan kondusif.
Thorcon, sebagaimana proses yang dijalankan semua pengembang teknologi apapun di dunia, telah menunjukkan niat baik dan keuletan yang luar biasa dalam menjalankan proyek pembangunan PLTN-nya. Ini adalah suatu proyek yang dipersiapkan untuk mendukung perkembangan industri nuklir tanah air, industri masa depan. Untuk itulah jika sudah selayaknya Pemeritah Pusat dan daerah menggelar karpet merah untuk menyambut investasi pihak swasta di sektor energi nuklir / PLTN.
Karenanya, sebagai penggiat dibidang ketenaganukliran di tanah air, kami sangat mendorong, agar pemerintah dan masyarakat memandang kehadiran pengembang swasta teknologi PLTN ini sebagai suatu ‘kesempatan’, alih-alih sebagai suatu ‘ancaman’. Meskipun teknologi tersebut belum dioperasikan di negara lain, dan memberikan kepercayaan pada BAPETEN dan seluruh stakeholder ketanaganukliran yang telah dibentuk lebih dari setengah abad lamanya. Sekaranglah saatnya Indonesia dapat mengembangkan teknologi PLTN berbasis Thorium, sebagai SDA yang lebih banyak ditemukan di Indonesia dibanding Uranium. Hal ini akan memungkinkan Indonesia mencapai sustainability energy dengan menyediakan energi listrik secara mandiri, tidak tergantung pada negara lain.
Mari bersama-sama, untuk tidak membiarkan pengembang teknologi yang membawa kesempatan besar ini, berjuang sendiri. Pemerintah, pemangku kepentingan, akademisi, pemuda, dan masyarakat, perlu bersama, bahu-membahu, mendorong berhasilnya pembangunan PLTN pertama yang akan menjadi momentum titik balik bagi industri nuklir dan energi nasional. Bersama kita kawal, bersama kita kritisi, bersama kita kembangkan. Kita harus melihat proyek ini sebagai sebuah kesempatan, dan jangan biarkan mereka berjuang sendirian.
Mendorong Implementasi, Membuka Kesempatan, Mencegah Ketertinggalan
Niat baik dan keseriusan pengembang teknologi yang telah menunjukkan langkah pasti di Indonesia, baik itu Thorcon sebagaimana dijelaskan diatas, maupun pengembang lain yang telah atau akan turut menjalankan usahanya di tanah air, perlu didorong dan disambut dengan tangan terbuka. Kehadiran teknologi itu membawa kesempatan, membuka peluang dan manfaat dalam banyak sekali bidang. Nuklir adalah teknologi energi, energi adalah penopang industri, dan industri adalah tulang punggung ekonomi modern.
Sejak lalu, Indonesia telah tertinggal dalam banyak sekali momentum kemajuan teknologi. Kekayaan SDA yang dimiliki bangsa ini, masih, hingga saat ini, lebih banyak keluar dalam bentuk mentah atau setengah jadi, daripada yang menjadi teknologi siap guna. Banyak faktor memang, namun salah satu yang terutama, adalah kurang sigapnya kita memutuskan hal-hal besar dengan keberanian dan keyakinan bahwa kita mampu.
Kali ini, bersama-sama kita sambut dan dorong PLTN di tanah air. Mari mendorong implementasi PLTN, membuka kesempatan untuk maju lebih jauh, dan mencegah ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Saatnya kita berdikari, saatnya nuklir turut masuk dalam bauran energi!
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement