Menjelang akhir Juli, sejumlah emiten telah mengumumkan laporan kinerja keuangan selama kuartal dua 2018. Sejatinya musim laporan keuangan ini menjadi katalis positif bagi pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG). Namun, sentimen negatif dari global diperkirakan akan membatasi kenaikan indeks dalam pekan ini.
Analis Bahana Sekuritas, Muhammad Wafi, menilai faktor domestik memperlihatkan tren membaik yang tercermin pada angka penjualan retail yang meningkat, bukan hanya karena faktor musiman puasa dan Lebaran semata. Hal ini memperlihatkan tingkat konsumsi masyarakat yang semakin kuat.
"Kekhawatiran investor akan defisit neraca perdagangan terlalu berlebihan karena pada Juni lalu, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus tertinggi sejak September," tutur Muhammad Wafi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu 25/7/2018).
Pembalikan modal dari sejumlah negara Asia seperti India, Malaysia, Filipina, Indonesia dan negara lainnya, masih terjadi akibat perang dagang yang dimotori oleh Amerika dan Cina, ditambah lagi kebijakan bank sentral Amerika atau Federal Reserve yang diperkirakan bakal menaikkan bunga acuan melebihi ekspektasi pasar.
Keluarnya dana-dana asing dari pasar keuangan membuat indeks dan sejumlah mata uang Asia tertekan cukup dalam, termasuk Indonesia. Sejak Februari, indeks telah tertekan sebesar 14,3% dan rupiah telah mengalami depresiasi sebesar 5,6%. Padahal secara fundamental, perekonomian Indonesia tidaklah buruk dan masih menjanjikan return yang lebih baik dibandingkan negara lain.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar $1,74 miliar. Surplus neraca perdagangan ini memberi ruang bagi kebijakan moneter untuk menahan suku bunga acuan atau BI 7-days reserve repo tetap di level 5,25% dalam rapat Dewan Gubernur minggu lalu (19/7/2018), setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga total sebesar 100 basis point (bps) sejak Apil 2018 untuk menjaga volatilitas nilai tukar, meski perekonomian domestik memperlihatkan fundamental yang kokoh dan memperlihatkan tren membaik.
''Valuasi saham-saham kita sudah berada di level terendah. Kalau melihat rasio harga saham terhadap pendapatan emiten pada umumnya, saat ini sudah berada di level terendah dalam 10 tahun terakhir,'' kata Wafi.
Di sisi lain, lanjut Wafi, BI masih konsisten akan mengambil kebijakan menaikkan suku bila diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Semestinya, investor bisa melihat ini sebagai peluang untuk kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Dengan melihat perkembangan di global serta fundamental domestik, Bahana Sekuritas merekomendasikan beli saham Bank Mandi (BMRI) dengan target harga Rp9.500/lembar saham dan saham Bank Central Asia (BBCA) dengan target harga Rp27.600/lembar saham karena valuasi kedua saham bank ini cukup atraktif.
Bank Mandiri memperlihatkan tren kinerja positif setelah mampu mengatasinya masalah kredit bermasalah sehingga biaya pencadangan turun drastis yang berakibat pada peningkatan laba bersih perseroan. Sedangkan, BBCA mampu mempertahankan biaya dana murah di tengah tren kenaikan suku bunga.
Seiring dengan semakin kuatnya konsumsi domestik, kinerja Ramayana Lestari Sentosa (RALS), Indofood Sukses Makmur (INDF) dan Erajaya Swasembada (ERAA) akan diuntungkan. Bahana menargetkan harga RALS sebesar Rp1.570/lembar saham seiring dengan transformasi bisnis yang dilakukan oleh manajemen dalam setahun terakhir.
Target harga INDF dipatok sebesar Rp8.600/lembar saham, sejalan dengan menguatnya permintaan atas barang konsumsi bergerak cepat atau fast moving consumer goods (FMCG). ERAA dipatok dengan target harga sebesar Rp4.000, dengan prospek margin yang semakin baik, ditopang oleh penjualan Samsung dan IPhone keluaran terbaru serta Xiaomi yang masih menjadi incaran masyarakat kelas menengah bawah.
Astra International (ASII) dengan target harga Rp7.800 juga memiliki prospek positif karena mayoritas unit bisnisnya mengalami pertumbuhan yang cukup baik termasuk United Tractor (UNTR) dengan target harga Rp41.100/lembar saham, yang ditopang oleh penjualan alat berat serta prospek industri pertambangan yang semakin baik dengan stabilnya harga komoditas global.
HM Sampoerna (HMSP) juga direkomendasikan beli dengan target harga Rp4.400 dengan market share terbesar di industri rokok dan rata-rata harga penjualan rokok masih sesuai dengan daya beli masyarakat, margin HMSP diperkirakan lebih baik dibanding produsen rokok lainnya.
Sementara itu, XL Axiata (EXCL) dengan target harga Rp4.000/lembar saham, juga cukup menjanjikan karena valuasi harga sudah berada di level terendah dibanding emiten telekomunikasi lainnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: