Bicara es puter, ingatan ini seperti dibawa ke masa lalu. Sudah puluhan tahun lalu rasanya keberadaan salah satu ikon kuliner di Solo ini tak lekang oleh waktu dan tak terlupakan oleh zaman serta pelanggan. Bahkan, meski kehadiran es krim modern telah merebak di semua tempat, terutama di kota, keberadaan es puter tetap tak tergeser. Ia tetap menjadi branding salah satu usaha mikro atau home made pelaku ekonomi kaum pinggiran. Ada beberapa cirinya yang masih tetap terjaga hingga kini.
Pertama, es puter dijajakan secara keliling sejak zaman dulu, bahkan sejak kita masih anak-anak meski dalam perkembangannya mulai bermunculan pengusaha-pengusaha mikro yang menjajakan es puter melalui home selling. Kedua, rasa es puter yang masih terjaga hingga kini, gurih dengan campuran tape ketan, mutiara, dan kelapa muda yang selalu membuat ketagihan para pelanggan. Ketiga, gerobak dorongnya yang dilengkapi dengan gelas yang disusun unik.
Kenapa disebut es puter, apa bedanya dengan es dung-dung dan es krim? Menurut Wikipedia, disebut es puter karena saat pembuatannya, adonan diputar-putar oleh alat pembuat es hingga es mengkristal. Dalam pembuatan es dung-dung hampir serupa, namun campurannya lebih sederhana. Bedanya hanya di gaung suaranya saat menjajakannya. Gaung es puter berasal dari suara gelas yang dipukul-pukul, sementara es dung-dung dari suara gong mini.
Sedangkan bedanya dengan es krim, yakni es krim berbahan dasar susu dan beragam rasanya. Adapun, es puter berbahan dasar santan yang rasanya lebih gurih.
Hal menarik dari es puter dan yang membedakan dengan es krim lainnya dalam proses pembuatan es puter tidak menggunakan mesin karena usaha es puter adalah usaha turun-temurun. Penggunaan mesin akan berakibat beberapa orang akan kehilangan mata pencahariannya. Jadi, ada korelasi antara keberlangsungan usaha dengan keberlanjutan generasi. Dengan kata lain, pekerja es puter adalah pekerja turunan karena pekerja saat ini adalah anak-anak dari pekerja yang dulu pernah bekerja di tempat es puter ini.
Ketekunan menjual es puter secara mobile maupun home selling selama puluhan tahun ini merefleksikan kegigihan para pelaku usaha mikro ini untuk terus menekuni usahanya. Mereka begitu meyakini jika itulah jalan hidupnya, juga generasi penerusnya. Bagi mereka, kisahnya ini menjadi relevan dengan apa yang dikatakan Aristoteles jika saat dunia membutuhkan, dan bakat Anda mampu memenuhinya maka di sanalah lapangan kerja tercipta. Keberlangsungan usaha es puter akan selalu menjadi ladang penghidupan mereka selama bertahan di profesinya. Sebagaimana halnya pelanggan yang masih setia mengonsumsi es puternya.
Bagi penjual es puter keliling seperti Sarno, es puter telah menggulirkan roda nasibnya selama lebih setengah abad. Dengan gerobaknya, setiap pagi hingga malam, ia selalu menyusuri gang demi gang untuk mengadu peruntungan dengan satu tujuan, es puternya habis. Baginya pulang sebelum waktunya dan dagangan habis adalah kebahagian yang dirindukan. Harapan itulah yang selalu ia selipkan di setiap doanya. Sederhana pintanya, sesederhana nasibnya karena secara ekonomi hasil es puter ini masih belum memenuhi harapan keluarga, untuk sejahtera.
Berbeda halnya dengan penjual es puter home selling di lokasi Banjarsari, Solo. Pengusaha mikro es puter tradisional Barokah ini juga sudah malang-melintang usahanya sejak tahun 1964.
Syukurlan, karena kegigihan mengelola usaha es puternya, sampai sekarang home industry ini masih tetap eksis di tengah gempuran munculnya es krim modern dengan berbagai variasinya. Dengan tenaga kerja sebanyak tujuh orang, es puter Barokah benar-benar menjadi berkah bagi pengusaha dan pekerjanya, termasuk generasi-generasi mereka berikutnya.
Inilah pejuang-pejuang ekonomi kaum pinggiran yang sebenarnya. Kegigihan dan keuletan usaha telah teruji selama bebera dekade. Terlepas dari permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing penjual dan pengusaha es puter, mereka tahan banting dan tahan nasib. Bukan saja tahan pada siang yang menyengat, tetapi juga dingin malam yang memagut. Atau tahan terhadap sepinya pesanan jika cuaca kurang menguntungkan. Tapi semangat mereka yang terus menyala, patut diacungi jempol meskipun semuanya karena benturan nasib yang mengharuskan mereka tetap bertahan untuk hidup di tengah ketidakpastian dan gempuran arus zaman.
Kegigihan para penjual es puter yang masih bertahan dan menggantungkan hidupnya ke mana roda berjalan dan ke mana selera pelanggan bertahan, merefleksikan filosofi hidup mereka yang nrimo ing pandum, artinya menerima segala pemberian dari Sang Pemberi Hidup. Kemudian selalu ikhlas dalam menerima serta menghadapi segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Mereka menyakini ada orang yang diluaskan rezekinya dalam bentuk harta. Ada yang diluaskan rezekinya dalam bentuk kesehatan. Adapula yang diluaskan dalam bentuk kesederhanaan dan kebahagiaan.
Bagi mereka, pepatah alon-alon asal kelakon telah menjadi pedoman hidup dalam kesehariannya mengais rezeki. Meski kedengarannya simpel, filosofi ini memiliki makna yang mendalam, yaitu untuk selalu ulet dan tegar dalam berusaha menjalani hidup. Pelan-pelan tapi pasti hasilnya. Meski waktu mulai mengikis usianya pelan-pelan, mereka tetap bahagia dan mampu menjaga kesinambungan kehidupannya yang sederhana dan bersahaja, meskipun apa adanya dan tidak terlalu signifikan mengubah nasib untuk sejahtera.
Bagi penjual es puter seperti Pak Sarno, bahagia itu sederhana. Baginya, kebahagian itu muncul ketika ia dapat melayani pelanggannya dengan baik di wilayah Ngarsopuran, Solo. Serta dagangan ludes dan selalu pulang ke rumah lebih awal agar memiliki waktu yang lebih panjang untuk berdoa dan bersyukur atas rezeki yang diperolehnya. Dan yang terpenting, jualan es puternya selalu dikangenin dan dicari pelanggan di manapun gerobaknya berada.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: