Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tengkleng: Merambah Sukses dari Pinggiran

Tengkleng: Merambah Sukses dari Pinggiran Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dua bulan lalu saya berkunjung ke Semarang untuk menghadiri undangan teman sedang menggelar hajatan. Karena acara digelar pada siang siang, maka disajikan jamuan makan siang. Mantab, pikirku, karena kebetulan perut sedang lapar-laparnya karena baru saja tiba selepas perjalanan Solo-Semarang.

Saya melihat di meja makan terdapat beberapa masakan yang disuguhkan. Ada gudeg koyor, oseng babat, oseng kepala Manyung, soto Bangkong, dan satu lagi yang tak terlihat karena masih tertutup panci. Di antara masakan andalan tersebut, suguhan yang tertutup di panci paling menyita perhatian. Karena rasa penasaran tinggi, terpaksa fungsi hidung dimaksimalkan. Dari indikasi baunya ini pastilah masakan kambing, tengkleng tepatnya.

Benar dugaanku, ketika tuan rumah membuka tutup panci, beberapa tulang iga menyeruak keluar di antara kuah berwarna kuning bening. Ketika saya tanyakan di mana tengkleng ini dibeli, mereka menginformasikan jika tengkleng tersebut dibeli dari Pasar Klewer, Solo, dan dibawa langsung ke Semarang. Wah, jangan-jangan perjalanan tengkleng dari Solo ke Semarang hampir bersamaan denganku.

Tapi, luar biasa atensi tuan rumah dalam menjamu dan dua jempol untuk reputasi masakan tengkleng yang sudah melawat kota dan menjarah selera lidah orang-orang kota Semarang.

Dari berbagai menu masakan kambing, tengklenglah yang paling fenomenal. Ia menjadikan penikmatnya merasakan keasyikan tersendiri sehingga butuh waktu dan konsentrasi agar tidak salah menggigit tulang. Kenapa disebut tengkleng? Tengkleng (ejaan bahasa Jawa thengklèng) adalah masakan yang berasal dari kota Solo. Masakan ini sejenis sup dengan bahan utama tulang kambing.

Konon cerita, daging kambing hanya bisa dinikmati para bangsawan dan orang-orang Belanda. Sementara sisanya, bagian kepala, kaki, dan tulang kambing hanya untuk para pekerja dan tukang masak. Namun, karena kelihaian juru masak, tulang kambing disulap menjadi tengkleng yang lezat. Masakan ini akhirnya menjadi favorit dan langgeng hingga kini. Luar biasa, dari tulang akhirnya menjadi tulang punggung kehidupan penjual - yang bertahan sampai beberapa generasi.

Tidak itu saja, pamor masakan ini mulai merambah perkotaan, dan mampu bersaing dengan masakan modern. Yang membanggakan, tengkleng telah naik kelas karena konsumen dari brayat sampai birokrat.

Tengkleng memang salah satu ikon kuliner di kota Solo. Masakan ini telah melegenda serta mampu memadukan selera lidah kaum pinggiran dan orang gedongan. Masakan tengkleng telah menyebar di beberapa lokasi di Solo. Ada beberapa warung tengkleng yang enak dan wajib dikunjungi di Solo, seperti warung tengkleng Pak Manto yang punya rasa khas karena menggunakan bumbu rempah yang berbeda dengan tengkleng pada umumnya. Rasanya telah membuat para pelanggannya melimpah dan ketagihan.

Adapula warung tengkleng Bu Edi di Gajahan, Kauman, Solo, yang sering membuat Presiden Joko Widodo mampir ke sini. Juga tengkleng kambing Bu Pon yang berlokasi di Pasar Kliwon, Solo. Tengkleng ini terbilang spesial karena menggunakan cabai di dalamnya dan isinya lengkap (iga, sumsum, dan bagian kepala kambing). Dengan harga mulai dari Rp25 ribu, penikmat masakan tengkleng ini bisa melampiaskan rasa penasaran atas sensasi tengkleng ini.

Pamor masakan tengkleng Solo telah merambah ke beberapa daerah lainnya. Namun, ada bedanya di rasa, jenis masakan maupun di bahan dasarnya. Tengkleng Yogyakarta misalnya, mempunyai ciri khas menggunakan santan. Tengkleng Bhenjoyo, tengkleng Gajah (dalam porsi "gajah"), tengkleng Gendheng, dan tengkleng Hohah dengan taburan cabai rawit di atasnya.

Modifasi masakan ini menunjukkan masakan tengkleng yang lebih variatif. Bahan dasarnya bukan lagi dari sisa atau buangan tetapi bahan spesial yang membuat lidah bergoyang dan perut berdendang karena kenyang kepuasan. Invasi masakan tengkleng bukan hanya di Yogyakarta saja. Kini tengkleng bisa dijumpai di kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, hingga Jakarta.

Saat ini, turunan masakan tengkleng tidak lagi hanya berbahan tulang. Di beberapa kota besar, daging sapi dan daging ayam menjadi alternatif bahan utama tengkleng. Ini untuk mengakomodir penikmat masakan tengkleng yang tidak suka tulang karena kesusahan mengambil secuil daging di antara celah tulang tengkleng atau karena tak punya gigi. Juga diselaraskan dengan kondisi pelahap masakan tengkleng yang sudah mulai mengurangi konsumsi daging kambing alias hipertensi.

Kemajuan tengkleng ini mengingatkan quotasi Roberth F. Kennedy: kemajuan merupakan kata yang merdu, tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan memiliki banyak musuh". Kemajuan usaha tengkleng telah menyejajarkan masakan ini dengan kesuksesan kuliner lain yang menjadi ikon kuliner di Solo. Kemajuan ini berpengaruh terhadap peningkatan permintaan bahan dasar seperti daging kambing, daging ayam, bawang merah dan putih, kelapa, gula, garam konsumsi, cabai, serta beras.

Kemajuan ini menunjukkan konsumsi masyarakat terhadap masakan tengkleng tidak pernah menurun. Malahan terus meningkat seiring dengan tingkat konsumsi masyarakat, terutama masyarakat pinggiran. Namun demikian, kemajuan karena permintaan dan selera pelanggan ini memiliki keterbatasan sebagai personifikasi musuh, yaitu larangan dokter dan daya tahan tubuh sendiri yang mulai mengurangi atau bahkan pantang terhadap masakan kambing.

Sukses masakan tengkleng yang sudah merambah di berbagai pelosok negeri membuktikan jika sukses tidak datang dari apa yang diberikan oleh orang lain, tapi datang dari keyakinan dan kerja keras pemilik warung tengkleng itu sendiri. Dalam pencapaian kesuksesan, para pemilik warung tengkleng telah bersusah payah untuk menyakinkan kepada siapapun - bagaimana masakan tulang ini mampu menarik perhatian.

Selanjutnya, bagaimana menumbuhkembangkan masakan tengkleng ini dari sisi peningkatan jumlah pelanggan. Dari sukses tengkleng dapat dipetik hikmah

1. Masakan tengkleng dan berbagai variasinya telah mengantarkan kesuksesan penjual dari lingkungan pinggiran ke lingkungan perkotaan dalam skala nasional;

2. Merambahnya ladang usaha dengan branding tengkleng tidak terlepas dari proses manajemen yang baik dan kesetiaan pelanggan yang menginspirasi adanya inovasi;

3. Kesahajaan penjual tengkleng di balik kesuksesannya telah menumbuhkan motivasi jika wong sabar rejekine jembar, wong ngalah uripe berkah. Untuk menjadi sukses, kita harus terlebih dahulu percaya bahwa kita bisa (Nikos Kazantzakis).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: