Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Freeport: PR Besar di Balik Wacana Divestasi

Freeport: PR Besar di Balik Wacana Divestasi Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Riuh rendah masyarakat menyambut penandatanganan head of agreement (HoA) antara PT Inalum dan Freeport McMoran beberapa waktu lalu. Beberapa antusias dan mengapresiasi, namun lainnya mencibir dan menganggap proses tersebut masih jauh dari kata sepakat antara kedua pihak.

Jakarta, 12 Juli 2018, pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang merupakan holding badan usaha milik negara (BUMN) pertambangan menandatangani kesepakatan awal head of agreement (HoA) terkait proses panjang divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PT FI). Kesepakatan tersebut memuat banyak hal, di antaranya terkait pengambilalihan 100% participating interest milik PT Rio Tinto Indonesia (RTI), share swap participating interest PT RTI yang telah dimiliki oleh Inalum menjadi saham baru PT FI, dan banyak lagi detail kesepakatan lainnya. Dari semua skema tersebut, hasil akhir yang diharapkan adalah beralihnya kepemilikan 51% saham PT FI dari Freeport McMoran kepada Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum.

Namun di balik keseluruhan wacana proses divestasi tersebut, satu poin yang seolah luput dari sorotan banyak pihak adalah permasalahan lingkungan. Seminggu sebelum penandatanganan HoA, misalnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya, telah memberikan tenggat enam bulan terhitung sejak Mei 2018 bagi PT FI untuk segera menyelesaikan segala permasalahan lingkungan di sekitar wilayah tambangnya.

Dalam catatan KLHK, sedikitnya ada 48 pelanggaran yang dilakukan PT FI terhadap berbagai peraturan dan kebijakan yang ada. Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah praktik pembuangan limbah PT FI ke laut yang tentunya sangat merusak ekosistem yang ada.

"Jelas harus ada perubahan-perubahan yang mereka (PT FI) harus lakukan, terutama soal pembuangan limbah ke laut. Saya pasti fokus di ekosistem lautnya, terutama ke wilayah-wilayah penempatan pembuatan limbah yang sekarang ada," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Siti, pihaknya telah membuat kajian lingkungan hidup strategis terkait perubahan ekosistem, lingkungan estuari, dan juga penanganan limbah yang masih dapat dimanfaatkan. Pihaknya juga telah menjatuhkan 48 sanksi kepada PT FI atas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan. Dari keseluruhan sanksi itu, 35 di antaranya disebut Siti telah selesai dilaksanakan. Sementara, 13 sanksi lagi sedang disiapkan, dengan tujuh di antaranya diharapkan dapat selesai dalam waktu dekat.

Salah satu sanksi itu menyangkut soal komitmen penanganan PT FI untuk melakukan perubahan dan pengembangan teknologi yang dalam penanganannya. "Dia harus mau kembangkan teknologi yang dipakai, namun pemerintah juga harus bantu dengan beberapa kebijakan baru. Misal bila tailing bisa digunakan lagi untuk pembangunan di Papua, Maluku, dan lain-lain. Untuk ke sana itu tidak akan bisa tanpa adanya kebijakan pemerintah," tutur Siti.

Terkait penanganan limbah itu, Siti menyatakan pihaknya secara reguler terus membuka ruang diskusi dengan PT FI untuk dapat menentukan hal-hal yang bisa dilakukan ke depan. PT FI berkonsultasi secara reguler setiap dua minggu sekali dengan pihak KLHK agar dapat memahami keinginan pemerintah sekaligus komunikasi terkait temuan di lapangan.

Siti juga menyatakan bakal berkomunikasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, guna membahas permasalahan limbah PT FI. Pembahasan bersama itu dirasa penting sebagai bahan pertimbangan pemberian perpanjangan izin usaha pertambangan khusus operasi (IUPK-OP) untuk PT FI hingga tahun 2041 mendatang.

"Pak Jonan kan sudah mensyaratkan pada PT FI agar mendapat rekomendasi KLHK untuk dapat perpanjangan IUPK-OP dua kali 10 tahun. Tergantung nanti saya akan duduk bareng dengan beliau (Jonan), apa yang dia maksud dengan rekomendasi itu. Yang penting PT FI bikin dulu planning bagaimana mereka mau beresi tailing-nya itu," papar Siti.

Selain soal penanganan limbah, PT FI juga disebut cukup bermasalah dalam hal izin pinjam pakai hutan yang diberikan oleh kepala daerah setempat. Soal izin ini menjadi cukup bermasalah karena berkaitan erat dengan pola komunikasi yang terjalin antara PT FI dengan gubernur sebagai kepala daerah setempat. Ketika komunikasi membaik, proses perizinan dapat dipastikan bakal lancar, begitu pun sebaliknya.

"Dan permasalahan izin (pinjam pakai hutan) ini memang up and down. Kenapa? Karena dia harus ada rekomendasi dari kepala daerah setempat, yaitu gubernur. Ketika interaksi dan komunikasi yang terjalin kurang baik, gubernurnya maju-mundur juga," ungkap Siti.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan PT FI telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp185 triliun dari praktik pembuangan limbahnya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Total kerugian itu terbagi dalam tiga wilayah terdampak, yaitu Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) dengan nilai ekosistem yang dikorbankan mencapai Rp10,7 triliun, estuari sebesar Rp8,2 triliun, dan wilayah laut sebesar Rp166 triliun. Perhitungan itu dilakukan oleh tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Mereka yang menemukan fakta bahwa praktik pembuangan limbah PT FI telah menimbulkan perubahan ekosistem di sungai, hutan, estuari, bahkan kawasan laut.

Sementara itu, sejumlah LSM juga menyoroti masalah lingkungan hidup tersebut. Misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa PT FI selama ini telah menjadikan sungai sebagai lokasi pembuangan limbah beracunnya. Lima sungai yang dijadikan "wadah" pembuangan limbah itu meliputi Sungai Aghawagin, Sungai Otomona, Sungai Ajkwa, Sungai Minajerwi, dan Sungai Aimoe.

Atas semua sorotan tajam publik akan kinerja pengelolaan limbah tambang tersebut, sumber di Inalum menyatakan apabila Inalum menjadi pemegang saham mayoritas, masalah tersebut akan dituntaskan. Dalam hal pengolahan limbah, KLHK tak menampik Freeport memiliki teknologi untuk mengatasinya.

"Pada prinsipnya upaya penyelesaian masalah lingkungan hidup ini perlu menjadi perhatian Freeport dan pemerintah juga akan memberi sokongan kebijakan," ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya.

Nah, pemerintah memberi tenggat waktu enam bulan terhitung Mei 2018 lalu untuk Freeport memberesi masalah lingkungan hidup ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: