"Wah, kayaknya mau panen pete, mbak?" tanyaku pada kakak ipar saat mampir ke Purworejo setahun lalu. "Iya, tuh, lagi banyak-banyaknya. Ingin dik? Tapi sayang, orang-orang yang biasanya kita minta tolong untuk memanjat pohon sedang tidak ada. Di kampung ini, yang biasa buruh upahan untuk memanen pohon kelapa, pete, buah-buahan dan tanaman lain sudah tidak ada lagi."
"Lho ke mana mereka mbak?" tanyaku agak menyelidik. "Sudah ke kota semua dik. Kebanyakan ke Jakarta. Biasanya sehabis lebaran, mereka diajak teman-temannya yang telah sukses bekerja, ke Jakarta. Jadi yang tinggal di desa sekarang kebanyakan anak-anak dan orang tua saja."
"Padahal, sarana dan prasarana di desa kini makin membaik kan mbak?" "Betul dik, bukan hanya sarana jalan saja yang sudah bagus. Saat ini malah sudah tidak ada rumah gubug lagi. Semua sudah ditembok dengan dana desa karena bantuan dari pemerintah yang disalurkan lewat kelurahan."
"Tapi, karena pertimbangan kehidupan kota yang lebih menjanjikan maka mereka nekad meninggalkan desa," jelasnya.
Memang kondisi demikian tidak bisa dihindari. Gebyar kota dan hingar-bingarnya pastilah akan menjadi pilihan para pemuda desa. Antara obsesi dan keinginan mengubah nasib menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar lagi. Sementara, magnet kota yang mampu menawarkan segalanya akan menjadi magnet yang menyerap mimpi-mimpi para pemuda desa. Apalagi, teman-teman yang sudah sukses menaklukkan kota, pastilah akan mengajak sahabat-sahabat atau teman-teman masa kecil yang masih ngendon di desa untuk berbagi kesuksesan.
Dengan segala tawaran dan iming-iming, pastilah akan membuat idealisme para pemuda yang masih menganggur runtuh. Ia akan bertekad bulat mengadu nasib di kota, apapun risikonya. Tak memperdulikan kompetensi apa yang harus menjadi bekal dan dimiliki, yang penting buat mereka adalah kerja, kerja, kerja. Bagi mereka, kerja di kampung dan di kota sangatlah berbeda. Selain gengsinya, rezeki kota terkadang membawa "pulung" kesuksesan tersendiri. Siapa tahu mereka akan menjadi orang sukses dan terkenal setelah keluar dari desa.
Dari cerita semangat para pemuda yang berbondong-bondong ke kota besar ini, saya jadi teringat para penjaja starling atau starbucks keliling yang saat ini banyak bersliweran di jalan-jalan Jakarta. Mereka kebanyakan pemuda tanggung dengan bekal pendidikan pas-pasan.
Tapi, semangat mereka bekerja sangat luar biasa. Mereka tak peduli jika proses kerja lebih banyak mempergunakan okol daripada akal. Mereka memang lebih mengandalkan kekuatan fisik, yang kebetulan menjadi syarat utama untuk tipe pekerjaan seperti ini. Lihat saja contohnya, jika berpergian ke wilayah ramai di Jakarta seperti Monas maka kita pasti melihat pedagang kopi keliling yang biasa menggunakan sepeda. Mereka inilah yang biasa dikenal dengan sebutan Starling, perpaduan antara sebuah merek kedai kopi terkenal dan kata keliling.
Mereka memilih wilayah-wilayah ramai di Ibu Kota untuk menjajakan kopi dan minuman lain dagangannya. Mobilitasnya sangat tinggi, dengan menggunakan sepeda mereka tiap harinya. Berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Rata-rata mereka sudah berjualan di Jakarta lebih dari lima tahun lalu. Starling biasanya memiliki kelompok dan dikoordinir oleh seorang yang menjadi bos atau juragan.
Bagaimana cerita awalnya? Konon, pada awalnya para pedagang kopi menjajakan dagangan tanpa menggunakan sepeda. Saat itu mereka berjalan kaki dan menggunakan keranjang untuk menampung barang dagangan. Namun, muncul gagasan untuk menggunakan sepeda. Gagasan itu muncul agar mereka bisa lebih cepat dan leluasa mencari konsumen di sejumlah kawasan Ibu Kota.
Menurut penuturan mereka, sepeda yang digunakan para pedagang merupakan sepeda milik sendiri. Peralihan berjualan dengan menggunakan sepeda ternyata mendongkrak penghasilan mereka. Dengan menggunakan sepeda, para penjaja Starling dapat lebih leluasa mencari konsumen di lokasi-lokasi ramai. Itulah, gagasan bisnis spektakuler terkadang datang tak terduga seperti apa yang terjadi pada kerajaan kopi dunia.
Bagaimana sejarah Starbucks? Starbucks pada awalnya tidak menjual kopi sebagai bahan dagangan utama. Perusahaan yang didirikan oleh dua guru dan seorang penulis ini awalnya hanya menjual teh, biji kopi, serta cemilan ringan di rumah salah satu pendiri. Uniknya, para pendiri toko kecil itu tidak menyadari bahwa biji kopinya memiliki cita rasa yang khas dengan potensi bisnis sangat besar. Toko yang pertama berdiri di Seattle ini bahkan membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun untuk menyadari seluruh potensi bisnis.
Perlahan tapi pasti, toko tersebut menjelma menjadi kedai kopi raksasa. Kini, Starbucks telah menyebarkan kedai di berbagai pelosok dunia termasuk di Indonesia. Dengan pelayanan yang unik dan strategi bisnis yang berbeda, Starbucks berhasil menjadi kerajaan kopi terbesar di dunia.
Bagaimana pula dengan sejarah Starling di Indonesia? Kopi sudah menjadi bagian hidup Rohim, Mawi, dan Abdul Malik. Setiap hari mereka mengayuh sepeda menjajakan kopi dan minuman serta penganan lain di seputar pusat kota Jakarta. Mereka hanya menjual kopi dalam kemasan sachet yang tentu harganya sangat terjangkau.
Ketika mengopi sudah menjadi kebiasaan, tak peduli di mana tempat yang penting kopi panas tersedia. Bagi kalangan dompet tebal dapat menikmati kopi di kafe-kafe berkelas, namun yang berdompet tipis juga tersedia banyak pilihan, bisa diwarung atau juga di taman, tempat parkir kantor, atau mal dengan memanfaatkan jasa Starling. Mereka sangat mudah dijumpai, yaitu di sekitar tempat parkir perkantoran, mal, taman, maupun di jalan protokol ibukota.
Mereka menjajakan dagangan kopi panas dengan harga murmer alias murah meriah. Sego bungkus dan segelas plastik kopi susu hanya membuatmu meratapi nasib bersama debu di jalan dan baju kuyup keringat para supir–atau menghibur diri dengan gelak tawa di atas derita kawan sejawat yang ketiban sial. Singkatnya, kita membayar mahal untuk berada di dunia yang berbeda saat makan atau mengopi di Starbucks.
Beberapa hal yang perlu dicermati terkait Starling adalah
1. Starling berbeda dengan Starbuck aslinya. Starbucks datang untuk menawarkan value dan user-experience. Kita dapat free wi-fi, nice personal service, soft cushion, cozy interior, juga makanan khas Barat. Sedangkan Starling, mereka yang datang ke ibu kota keliling karena tidak punya pilihan;
2. Dalam bisnis minuman keliling, modal yang diperlukan tak perlu besar. Selain kopi, mereka juga menyediakan rokok dan panganan kecil lain sebagai teman mereguk minuman. Dalam bisnis ini, air panas menjadi sebuah keharusan, tak salah jika kemudian ada pula warga yang menjadikan refill air panas sebagai usaha. Untuk mengisi ulang air panas, para pedagang kopi keliling cukup membayar Rp2.500 hingga Rp3.000 tiap termos. Inilah simbiose mutualisma yang saling menguntungkan para pihak;
3. Risiko Starling yang menjajakan dagangan di area tertentu sangat rentan terhadap operasi penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Apesnya lagi, jika sepeda miliknya yang menjadi modal utama sampai diangkut ke dalam truk milik Satpol PP;
4. Gaya berjualan pedagang kopi di Indonesia yang seperti itu tidak dapat ditemui di negara lain. Kopi dengan memakai sepeda bisa dijadikan inovasi marketing baru yang membuat kopi kita lebih dikenal di masyarakat. Inovasi tersebut juga dinilai ampuh untuk meningkatkan minat masyarakat berjualan kopi;
5. Dahulu, inovasi kopi three in one (kreativitas asli Indonesia) sukses membangkitkan citra kopi Indonesia di mancanegara. Selain itu, kopi di Indonesia juga identik dengan kekhasan masing-masing daerah. Semakin tumbuh, kesadaran dan kebanggaan tentang geographical identification. Orang semakin sadar tentang masing masing karakteristik kopi. Kopi Gayo beda dengan Jawa, Wamena, Toraja, dan Lampung.
Simpulan
- Menjamurnya para penjaja Starling menunjukkan dua hal. Pertama, lapangan usaha di desa memang sudah tidak menjanjikan dan tidak memungkinkan lagi untuk menahan mereka keluar dari desa. Jika kondisinya memang demikian, program nawacita yang tujuan utamanyanya pemerataan dan pertumbuhan ekonomi sepertinya sudah harus dievaluasi efektivitasnya. Selanjutnya, perlu re-orientasi jika kesejahteraan rakyat sebagai dimensi dari aspek sosial dan kondisi lingkungan adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan dan bahkan seharusnya membersamai pembangunan infrastruktur.
Pembangunan ekonomi di desa dan daerah pinggiran, ke depannya harus dapat menciptakan lapangan kerja sehingga mampu menahan urbanisasi. Dengan kecukupan lapangan kerja, kesejahteraan akan mampu menjadi magnet yang akan menarik kembali pemuda-pemuda desa di kota yang belum mapan alias masih kelilang keliling menyusuri jalan-jalan di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya.
Kepulangan mereka sangat dibutuhkan sebagai human capital dan change agent yang akan mengawal implementasi nawacita ke depan;
- Kedua, usaha Starling memang sangat mudah dan menjanjikan. Pada momen-momen tertentu seperti saat berlangsungnya demonstrasi, para penjaja Starling akan meraup pendapatan yang besar. Meski penyajiannya terbilang sederhana dan seadanya, apa yang mereka jual sangat user friendly dan digemari oleh masyarakat dan terlihat betapa usaha mereka sangatlah menjanjikan.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi, malah memandang Starling dapat dijadikan salah satu inovasi untuk bisnis perkopian di tanah air. Ini tantangan, berani coba?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: