Kondisi perbankan nasional saat ini lebih siap dan kuat dalam menghadapi krisis keuangan seperti yang terjadi pada 1997-1998 silam. Fundamental bank yang kuat menjadi modal utama perbankan menghadapi situasi tersebut.
Demikian yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Ferdinand D. Purba, saat Seminar Nasional BI-LPS di Medan, Kamis (1/11/2018).
Menurutnya, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan yang masih berada di kisaran 22% menunjukkan masih kuatnya perbankan dalam negeri.
“Industri perbankan dua dekade terakhir berhasil keluar dari berbagai tantangan. Perbankan Indonesia sudah belajar dari krisis besar yang terjadi pada 1997-1998 dan krisis global 2008,” ujarnya.
Selain itu, tambah dia, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang masih berada dibawah 3% atau kisaran 2,7% (gross) menunjukkan bahwa NPL perbankan dalam negeri cukup terkendali dan rendah. Di sisi lain, kondisi Return On Asset (ROA) perbankan juga masih terjaga di level 2,42%.
“NPL yang terkendali diikuti dengan pengelolaan dan pengawasan regulator disektor perbankan yang prudent. Perbankan Indonesia paling kuat dibandingkan negara lain tidak hanya asia tapi juga global,” ucap Purba.
Meski begitu, perbankan tetap harus mengantisipasi berbagai tantangan yang bersumber dari global. Salah satunya adanya perang dagang dan kenaikan suku bunga The Fed.
“Industri perbankan ternyata masih ada tantangan seperti kenaikan suku bunga global, NIM bank yang terus menurun menjadi kisaran 5,01%. Untuk itu koordinasi antara lembaga dalam KSSK harus diperkuat untuk menjaga stabilitas keuangan,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: