Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dinilai menghambat pertumbuhan industri pariwisata dan perhotelan. Untuk itu, para pelaku industri mendesak pemerintah untuk segera melakukan deregulasi agar bisa mendorong kemajuan bisnis di industri penghasil devisa kedua di negeri ini.
Maulana Yusran, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, ada beberapa kebijakan dan perundang-undangan yang selama ini menghambat daya saing industri pariwisata. Di antaranya adalah kebijakan pajak dan retribusi daerah, bentuk perizinan yang tidak lagi sesuai dengan dinamika industri, pemanfaatan sumber daya air, tingginya biaya untuk sertifikasi usaha, dan masalah hak cipta.
“Ujungnya adalah daya saing sebenarnya. Kalau bicara masalah regulasi ini sangat penting terhadap daya saing karena regulasi ini paling banyak mengeluarkan biaya bagi pengusaha. Ini beberapa poin yang kita lihat,” ujar Maulana, yang akrab dipanggil Alan, saat berbicara dalam sesi diskusi di pameran industri perhotelan The Hotel Week Indonesia 2018 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (8/11/2018).
Banyak pelaku di industri ini menilai, mereka tengah menghadapi berbagai tantangan mulai dari room oversupply (jumlah kamar berlebih), digital disruption (tantangan dari serbuan digital), kompetisi harga, hingga kekisruhan dalam sertifikasi profesi.
The Hotel Week, yang merupakan acara tahunan, kali ini menghadirkan Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Kawasan Wisata Kemenpar RI, Anang Sutono, Deputi Bidang SDA dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono, dan para eksekutif di industri perhotelan, termasuk PHRI, Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA), dan industri terkait lainnya.
Alan mengatakan pengusaha perhotelan mengeluhkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2016 tentang Pajak Daerah dan Detribusi Daerah (PDRD) yang menetapkan bahwa complimentary/free of charge di hotel dan restoran juga dikenakan pajak.
Mereka juga mengeluhkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak daerah, yang merupakan dasar hukum yang mengatur tentang pajak hiburan, dengan tarif pajak daerah maksimal mencapai 75%.
“Ini kan (daerah) supaya cepat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akhirnya konsumen yang terkena,” ujarnya.
Alan mengatakan menurut pelaku industri, jenis serta pengelompokan untuk jasa akomodasi dan restoran sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika di industri ini.
“Misalnya dulu kita mengenal ada hanya satu jenis akomodasi, yakni hotel. Jaman sekarang yang namanya akomodasi itu ada hotel, kondotel, vila, rumah wisata, homestay, dan lain-lain. Makanya gak cocok lagi disebut pajak hotel, seharusnya disebut pajak akomodasi. Pajak restoran pun seperti itu, harusnya diubah menjadi pajak makanan dan minuman, karena kan penyedia jasa makanan dan minuman bukan hanya restoran, tapi ada cafe, dan lain-lain,” kata Alan.
Pelaku usaha perhotelan juga khawatir dengan pembahasan antara Pemerintah dan DPR terkait RUU Sumber Daya Air. Pelaku industri perhotelan menilai RUU ini, jika gol akan membangun ketidak pastian usaha, lantaran mencapur adukkan pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Dalam draft RUU ini, prioritas utama penggunaan SDA untuk kegiatan usaha diberikan kepada: BUMN, BUMD, BUMDes, Kebutuhan pokok dan pertanian, baru terakhir swasta.
“Pemberian izin pengggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat,” ujar Alan.
Alan juga menggaris bawahi bahwa kebijakan sertifikasi usaha, yang dinilai mahal, sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan yang lemah, sangat memberatkan pemilik hotel. Dalam presentasinya, Waketum PHRI ini membahas UU 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sering menjadi masalah buat operator hotel, karena sering terjadi konflik yang berujung hukum, misalnya masalah nonton bareng untuk siaran tertentu.
Solusi menderegulasi retribusi daerah itu, ujar Alan, seharusnya pemerintah pusat hingga tingkat dua kompak.
"Pasalnya, pemerintah provinsi sudah mendergulasi, tapi pemerintah di bawahnya tidak mau," sesal Alan.
Keluhan Alan disambut baik oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan. Dia tidak hanya menjanjikan deregulasi kepada pengusaha, namun menjamin akan memberikan insentif agar industri perhotelan dan wisata semakin maju di daerahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: