Ekonom Indef, Nailul Huda, menilai langkah pemerintah dengan menaikan suku bunga acuan (BI 7 Days Reverse Repo Rate) tidak cukup kuat untuk menahan tekanan dolar AS terhadap rupiah dalam jangka panjang. Apalagi defisit neraca transaksi berjalan saat ini makin melebar menjadi US$8,8 miliar atau 3,37% dari PDB per kuartal-lll lalu, yang dikhawatirkan semakin menekan nilai rupiah.
"Neraca pembayaran pada kuartal-lll lalu masih defisit dan ini merupakan defisit yang paling parah. Takutnya ini semakin menekan rupiah. Pemerintah perlu memikirkan cara lain untuk menjaga nilai tukar rupiah.BI rate dinaikan itu cuma jangka pendek saja dalam mengapresiasi rupiah," kata dia di Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Ditambahkan, tekanan nilai tukar juga datang dari neraca perdagangan yang kondisinya saat ini masih defisit. Penyebabnya, besarnya impor migas dan komponen atau bahan baku untuk keperluan pembangunan infrastruktur yang juga tidak sedikit. Rupiah sempat tertekan di level Rp15.000 perdolar beberapa saat setelah the fed, bank sentral AS mengumumkan kenaikan suku bunga acuaan mereka atau fed fund rate.
"Namun demikian secara year to date hingga akhir November lalu rupiah mengalami pelemahan atau depresiasi 8,25%, lebih rendah dari Turki, India, dan Bangladesh," kata dia.
Sementara Ketua Umum Barisan Nusnatara, Nurdin Tampubolon Ketum Barisan Nusantara menambahkan pelemhaan rupiah sendiri memang tidak terlepas dari kondisi perekonomian global yang belum membaik. Di sisi lain perekonomian AS sebagai negara paling besar dari sisi ekonomi terus membaik dan bank sentral mereka terus berencana menaikan suku bunganya dari saat ini sekitar 0,75%.
Untuk itu, pemerintah diminta tidak hanya fokus pada pengetatan suku bunga acuan, namun juga fokus memperbaiki fundamental perekonomian termasuk di dalamnya neraca perdagangan. Adanya pengetatan suku bunga acuan yang saat ini sekitar 6 persen dinilai bisa membahayakan daya saing industri.
"Saran saya suku bunga harus berdaya saing, diturunkan saja. Negara tetangga kan gitu, sehingga produk mereka di pasar global berdaya saing tinggi, kita perlu mencontoh mereka," kata dia.
Ditambahkan, untuk memperbaiki fundamental ekonomi khususnya neraca perdagangan yang masih defisit, ia mengapresiasi langkah pemerintah menekan impor bahan bakar dengan meningkatkan penggunaan biodiesel.
"B20 plus (B30 dan B40) itu kalau bisa berjalan dengan baik bisa menekan impor 80T atau $6 miliar. Kalau B30 atau B40 bisa menzerokan impor. Itu fokus pemerintah. Sampai mereka mempertimbangkan perlunya membangun fakultas kelapa sawit untuk membangun hulu dan hilir industri," tambah dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh