Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Defisit Neraca Perdagangan Terburuk Sepanjang Sejarah, Akankah Berlanjut?

Defisit Neraca Perdagangan Terburuk Sepanjang Sejarah, Akankah Berlanjut? Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pendorong penting dari lonjakan defisit perdagangan di 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai US$12,4 Miliar. Impor migas Indonesia melonjak dari US$24,3 Miliar pada 2017 menjadi US$29,8 Miliar 2018, atau tumbuh 22,6%.

Drilansir dari Core Indonesia, idealnya saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak.

"Uniknya, dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak. Manakala harga minyak dunia naik 37,3% sepanjang Januari–Oktober 2018 (yoy), pertumbuhan nilai impor minyak ikut terkerek 36,8% pada periode yang sama," ujar Core dalam keterangan resmi yang diterima Warta Ekonomi di Jakarta, Kamis (17/1/2019).

Sayangnya, lanjut Core, ekspor minyak hanya mengalami kenaikan 2,3%. Hal ini disebabkan perbedaan komposisi ekspor dan impor minyak Indonesia.

"Ekspor minyak Indonesia didominasi minyak mentah (75,7% terhadap total ekspor minyak) yang harganya lebih murah dibanding minyak olahan. Sebaliknya, 66% dari impor minyak adalah minyak olahan," tambahnya.

Kemudian Core melanjutkan, pada saat harga minyak turun -4% selama November–Desember 2018 (yoy), ekspor minyak turun lebih tajam-23%, sementara impor minyak malah tumbuh 3,5% pada periode yang sama (yoy).

Selain migas, sektor nonmigas juga menghadapi masalah yang tak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus nonmigas dari US$20,4 Miliar pada 2017 menjadi US$3,8 Miliar pada 2018, atau kontraksi sebesar 81,4%. Penciutan surplus nonmigas ini juga didorong oleh dua sisi, pertumbuhan ekspor nonmigas yang jauh lebih lambat, sementara impor justru mengalami akselerasi tajam.

Sepanjang 2018, impor nonmigas tumbuh 19,8%, jauh lebih cepat dibanding 2017 yang mencapai 13,4%. Peningkatan impor memang banyak dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah, yang selama 2018 terdepresiasi 7,3%. Namun pelemahan Rupiah bukan satu-satunya pendorong lonjakan impor. Volume impor nonmigas juga mengalami lonjakan sebesar 11% sepanjang 2018, lebih pesat dibanding pertumbuhan volume impor tahun 2017 yang hanya 6,4%. Ini menunjukkan peningkatan permintaan domestik belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri.

Meski demikian, pemerintah masih dapat memperbaiki kinerja perdagangan masih sangat terbuka, setidaknya untuk memperkecil defisit. Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, yang selama 2018 masih belum banyak terasa efektivitasnya, perlu dievaluasi, dipertajam dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya di tahun 2019.

"Dalam jangka menengah panjang, revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan untuk mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur, apalagi mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan," jelas Core.

Di samping itu, sambungnya, untuk jangka yang lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor non tradisional, sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: