Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita menekankan, kebutuhan jagung untuk bahan pakan dapat dicukupi dari hasil produksi dalam negeri karena jika dihitung per tahun produksi jagung Indonesia surplus.
Namun, lanjut dia, ada beberapa hal yang perlu dioptimalkan dalam penyerapan jagung dalam negeri karena terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan. Pertama, fluktuasi produksi.
Jika mengacu pada data Pusdatin 2018, total produksi jagung selama setahun mencapai lebih dari 70%, terhitung sejak Januari sampai Agustus. Di sisi lain, kebutuhan industri pakan dan peternak mandiri relatif konstan sepanjang tahun.
Baca Juga: Kementan Tegaskan Produksi Jagung Mencukupi Kebutuhan Pakan
"Fluktuasi produksi ini akan menimbulkan peluang terjadinya guncangan terhadap harga jagung domestik. Kemudian ada pergeseran sentra produksi jagung," katanya melalui siaran pers, Senin (18/2/2019).
Seperti diketahui, dalam 22 tahun terakhir (1993-2015) telah terjadi pergeseran sentra produksi jagung, dari Pulau Jawa ke Sumatera dan wilayah Timur Indonesia: Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Meskipun dominasi produksi jagung tetap di Pulau Jawa, namun terjadi pergeseran dari 62,26% (1993), menjadi 54,1% (2015).
Di Pulau Sumatera, kenaikan produksi jagung dari 16,27% (1993) menjadi 21,7% (2015), dan Sulawesi dari 11,86% (1993) menjadi 14,1% (2015). Sementara itu, dari 90 pabrik pakan saat ini masih terpusat di dua pulau besar, yaitu Jawa 65 pabrik atau 72,2% dan Sumatera 19 pabrik atau 21,1%.
"Ketiga, harga jagung bukanlah harga tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia. Harga di pasar setidaknya dipengaruhi oleh faktor mutu utamanya kadar air (KA), fluktuasi produksi yang dihadapkan pada kebutuhan jagung sebagai pakan ternak yang relatif konstan dan tidak tersedianya silo di sentra jagung, serta biaya transportasi," katanya.
Baca Juga: Indonesia Enggak Perlu Impor Jagung Lagi, Jokowi: Produksi Jagung Nambah 3,3 Juta Ton
Sementara itu, mengacu pada Permendag Nomor 96/2018 mengatur lima variasi harga acuan pembelian jagung di tingkat petani berdasarkan KA, yaitu Rp3.150 per kg (KA 15 %), Rp3.050 per kg (KA 20%), Rp2.850 per kg (KA 25%), Rp2.750 per kg (KA 30%), dan Rp2.500 per kg (KA 35%).
Diarmita menambahkan, pengguna jagung seperti pabrik pakan, cenderung memilih dan membeli jagung dengan KA rendah, agar mempunyai daya simpan lebih panjang. Hal ini untuk menjamin kepastian produksi (umumnya pabrik pakan mempunyai stok produksi dua bulan) dan kualitas yang ditunjang oleh penyediaan infrastruktur berupa silo dan dryer.
"Untuk membangun manajemen logistik dalam tata niaga jagung yang terintegrasi ini, peran Perum Bulog menjadi strategis. Karena itu kami berharap Bulog bisa menjembatani kepentingan petani sebagai produsen, serta kepentingan peternak, dan industri pakan sebagai pihak konsumen," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: