Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seberapa Perlu 5G?

Seberapa Perlu 5G? Kredit Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak diperkenalkan mulai akhir 2013 lalu oleh operator seluler Telkomsel dan XL Axiata, jaringan 4G LTE di Indonesia diakui banyak memberi manfaat di tataran konsumen. Salah satunya, fitur video call bisa digunakan secara maksimal oleh para pengguna smartphone di Tanah Air.

Pada kuartal II 2019 nanti, rencananya seluruh kabupaten dan kota di Indonesia akan terhubung dengan tol langit, istilah kekinian bagi infrastruktur jaringan tulang punggung (broadband) yang dibangun Kemenkominfo

Lalu, benarkah masyarakat Indonesia perlu beranjak ke jaringan selanjutnya, 5G? Toh dengan infrastruktur yang dikelola operator saat ini, apabila dikolaborasikan bisa menghasilkan jaringan 4,5G yang bisa menghasilkan kecepatan download hingga 300 Mbps. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Dari sudut pandang konsumen, jaringan 4G yang ada saat ini memang belum maksimal penggunaannya.

Opensignal menganalisis penggunaan jaringan 4G di 7 juta smatphone di 77 negara sepanjang 2018. Hasilnya menunjukan 42% negara mengalami anomali kecepatan download hingga 1,9 kali. Artinya, kecepatan download maksimal pada jam-jam tertentu jaraknya 1,9 kali lebih besar dibanding kecepatan download minimal.

Indonesia sendiri, jaraknya 3,2 kali, dengan kecepatan download maksimal mencapai 18,5 Mbps pada jam 04.00 WIB saat masih sedikit orang terbangun, dan mencapai 5,7 Mbps pada jam 21.00 WIB ketika mulai ramai orang melakukan streaming video.

Ian Fogg, VP Analyst Opensignal menyatakan, teknologi 5G bisa menjadi masalah anomali kecepatan download di jaringan 4G. Tidak hanya karena kecepatan download yang jauh lebih tinggi, 5G mampu menyediakan blanket of capacity yang dibangun dari bandwidth yang tinggi. Spektrum bands 56 yang berfrekuensi tinggi inilah yang akan memitigasi siklus  harian 'kemacetan' jaringan 4G.

"Selama jam-jam longgar –biasanya saat kebanyakan orang masih tertidur– jaringan 4G mampu mengantarkan kecepatan download secara signifikan, lebih cepat ketimbang jam-jam sibuk. Jam-jam sibuk bervariasi di setiap negara, seperti Jepang misalnya jam 12 saat makan siang, Singapura dan Norwegia jam 18.00, Inggris jam 17.00, Belanda jam 16.00," kata dia dalam risetnya. 

Jaringan 4G juga belum bisa mengantarkan kecepatan maksimal untuk menjalankan aplikasi-aplikasi berat, seperti aplikasi berbasis augmented reality atau untuk mobil swakemudi. Apalagi untuk menopang komunikasi machine-to-machine (M2M), misalnya untuk perangkat Internet of Things (IoT) di kawasan industri tertentu atau pabrik tertentu.

Baca Juga: Prediksi Ericsson: Langganan 5G Akan Capai 1,5 Miliar di 2024

Baca Juga: Rudiantara Janjikan Selesaikan Program 5G Tahun ini

Industri Lebih Siap

Menkominfo Rudiantara menyatakan dirinya tidak begitu yakin terhadap penggunaan jaringan 5G di tataran konsumen Indonesia. Beberapa waktu lalu dalam sebuah forum di Davos, ia berdikusi dengan CEO-CEO beberapa perusahaan teknologi telekomunikasi, seperti Ericsson, Nokia, Huawei, dan Hitachi, sepakat bahwa model jaringan 5G akan lebih dahulu masuk ke Indonesia untuk kalangan pebisnis daripada konsumen. Pemerintah rencananya akan membangun kawasan industri khusus yang menggunakan jaringan 5G. Teknologinya akan dibawa dari Korea Selatan dan China.

Sama dengan Indonesia, negara lain seperti Jepang dan Korea, menurutnya, belum menjajaki teknologi 5G untuk segmen ritel ataupun konsumen. Mereka masih fokus ke segmen korporasi. Salah satu alasannya adalah harga. Secara rasional, meski jaringan 5G mampu menekan delay menjadi sangat rendah, sehingga kecepatan meningkat misalnya sampai 100 kali, belum tentu konsumen mampu membayar dengan harga 50 kali dari saat ini.

"Betul karena investment cost-nya. Jadi kecepatannya bisa 100 kali, mau tidak orang bayar 50 kali dari harga sekarang? Kalau korporasi kan ngitungnya bisnis. Lebih mahal, tapi kalau hitung-hitungan bisnis masih masuk, ya dipakai. Kami juga belum tahu bisnis modelnya kan? Frekuensinya mau murah atau mahal. Kalau mahal, ya pemerintah. Tapi, industri survive apa tidak. Kalau murah, industri mungkin akan survive, tapi pemerintah dapat apa? Ini kan harus ada balancing," jelas Rudiantara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: