Topik disrupsi yang dimotori kemajuan teknologi memang menjadi isu hangat dalam beberapa tahun belakangan. Hampir semua industri terkena dampaknya, tak terkecuali di FMCG.
CEO Garuda Food Tbk (GOOD) Hardianto menyatakan di FMCG, disrupsinya masih terus diidentifikasi. Coba cermati, apakah ada perubahan kebiasaan (consumer behaviour) masyarakat untuk membeli produk-produk, seperti rokok dan biskuit dengan membeli dari marketplace? Rasanya belum. Kebiasaan masyarakat masih membeli ke warung atau toko ritel modern.
Baca Juga: Perkuat Kerja Sama, Garudafood dan Barry Callebaut Tambah Pasokan Coklat
"Sebagai perusahaaan yang leading in innovation, Garuda Food juga sudah mencoba pemanfaatkan marketplace tersebut. Hingga kami mendapatkan penghargaan dari Tokopedia sebagai FMCG terbaik dalam pemasaran online, tetapi sayangnya omzet dari penjualan ini tidak terlalu besar," kata dia kepada Warta Ekonomi, belum lama ini.
Garuda Food pernah menjual produk di marketplace dengan harga nol rupiah, tetapi mereka hanya menanggung ongkos kirim saja. Lonjakannya pun tidak begitu besar, di sinilah terlihat bahwa consumer behaviour belum terlalu menyentuh produk FMCG.
Melihat situasi seperti itu, maka perusahaan FMCG masih melihat jalur distribusi konvensional sebagai yang utama. Itu pula mengapa ekspansi jalur distribusi konvensional terus gencar dilakukan perusahaan FMCG manapun. Situasi seperti ini mungkin sampai kurun lima tahun ke depan dan masih akan berlangsung.
Baca Juga: Garudafood Targetkan Penjualan Ekspor Tumbuh Double Digit
Jadi bagi FMCG, pemanfaatan marketplace lebih dipakai untuk membangun branding. Sekarang ini untuk membangun branding produk FMCG tidak lagi mengandalkan televisi, tetapi juga sudah memanfaatkan saluran media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan Youtube. Kalau di Negeri Jiran seperti Malaysia, rating televisi sudah rendah sekali. Namun, untuk di kota-kota besar Indonesia pergeseran untuk membangun branding melalui media sosial itu sudah berlangsung.
"Garuda Food memberlakukan kebijakan bauran antara pemanfaatan televisi dan media sosial. Kalau di luar negeri sudah dominan ke media sosial," tambah dia.
Sekarang ambil contoh negara seperti China yang sudah terbilang maju. Dahulu, orang kalau bikin FMCG harus membangun pabrik, punya formula, packaging, hingga membuka jalur distriibusi. Sekarang di Negeri Tirai Bambu itu, biskuit home industry pun sudah bisa dikemas secara modern dan dijual di Alibaba.
Secara market share memang masih marginal transaksi produk home industry melalui online, yakni 5% saja dibanding konvensional. Akan tetapi, yang menarik disimak adalah kegiatan home industry tadi beberapa di antaranya sudah sampai masuk lantai bursa. Meski disrupsi bisnis FMCG di China masih terbilang kecil, fenomena tersebut menarik untuk terus dicermati perkembangannya.
Hal lain yang mesti diwaspadai dari disrupsi di FMCG, ketika pelaku perlu meredefinisi siapa sesungguhnya kompetitor mereka. Apakah sesama perusahaan FMCG? Atau ada yang lainnya. Bagaimana dengan produsen rumahan (home industry) yang memanfaatkan teknologi seperti market place dan sudah bisa menjangkau pasar yang begitu luas. Pelaku home industry inilah yang perlu diwaspadai oleh perusahaan FMCG ke depannya akan mendisrupsi mereka seperti yang sudah terjadi di China.
Jadi, disrupsi di FMCG terjadi karena adanya perubahan consumer behaviour.
"Disrupsi lain yang perlu dicermati yakni di lini network (saluran distribusi). Distribusi konvensional yang dilaku-kan FMCG memakai tenaga salesman untuk menjangkau warung-warung," tambah Hadianto.
Keberadaan mereka ini kelak akan diberdayakan oleh pelaku e-commerce seperti Tokopedia dan Bukalapak menjadi warung modern dengan memanfaatkan platform aplikasi. Dengan aplikasi tersebut, mereka bisa mengorder langsung barang-barang tanpa melalui salesman. Harga pun jadi lebih murah, diperkirakan dua sampai tiga tahun ke depan hal ini sudah berlangsung.
Menghadapi disrupsi di FMCG itu, menurut Hadianto, ada dua respons tersedia, di antaranya mengikuti arus atau mempertahankan yang ada. Idealnya, kedua respons tersebut dilakukan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ke depannya justru ada arus kuat—perubahan consumer behaviour dengan berbelanja melalui online—yang akan bertambah besar lagi. Meski masih membutuhkan waktu untuk sampai ke arus besar tersebut, tapi in the long runs arahnya memang ke sana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Clara Aprilia Sukandar
Tag Terkait: