Pemerintah Indonesia mendesak India untuk menurunkan tarif bea masuk produk minyak kelapa sawit olahan (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil/RBDPO) asal Indonesia .
Desakan itu disampaikan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, saat bertemu Menteri Perdagangan, Perindustrian, dan Penerbangan Sipil India, Suresh Prabhu disela agenda India-ASEAN Expo and Summit ke-4, di New Delhi, India pada Jumat (22/2/2019).
Saat ini, tarif bea masuk India untuk RBDPO asal Indonesia tercatat 5% lebih tinggi dari bea masuk produk serupa asal Malaysia.
“Kami meminta agar tarif bea masuk RBDPO Indonesia ke India diturunkan 5% agar besarannya seperti yang berlaku untuk Malaysia yaitu 45%,” kata Enggar.
Baca Juga: Diplomasi Sawit di India, Mendag Tekankan Prinsip Kemitraan dan Kolaborasi
Sebagai imbalannya, Indonesia bersedia membuka akses pasar untuk gula mentah dari India yang dibutuhkan oleh industri nasional.
“India memiliki kualitas gula yang bagus, dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber impor untuk pasokan produk gula mentah yang selama ini berasal dari Thailand dan Australia,” Ujarnya.
Dalam menanggapi permintaan tersebut, Enggar mengungkapkan Menteri Suresh Prabhu menyambut positif rencana kerja sama tersebut.
“Beliau menginstruksikan pejabat teknis terkait untuk segera mengambil langkah memenuhi permintaan tersebut,” jelas Mendag.
Selain itu, kedua Menteri berkomitmen meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara melalui penyelesaian hambatan tarif dan nontarif.
“Kami sepakat menghilangkan hambatan tarif dan nontarif di antara kedua negara. Hal ini sejalan dengan prinsip kolaborasi dan kemitraan yang diusung pada pertemuan India-ASEAN Expo and Summit ke-4 yaitu, ‘Co-creating the Future’, ujarnya.
Baca Juga: Industri Sawit Dukung Pengembangan Bio Energi
Dalam sesi panel di forum tersebut, Enggar menyampaikan pidato khusus yang mengangkat tema “Deepening Trade and Investment: Addressing Technical Barriers to Trade”. Dalam pidatonya, Enggar menyampaikan keprihatinannya terhadap peningkatan hambatan perdagangan.
Menurut dia, meskipun hambatan tarif diturunkan, namun jumlah hambatan nontarif semakin meningkat dan hal tersebut dapat menjadi sumber penurunan perdagangan. Berdasarkan data WTO, tarif yang diberlakukan sama bagi semua Negara anggota WTO (most favoured nation/MFN) menurun dari angka 15% pada tahun 1995 menjadi 9% di tahun 2018 dalam 20 tahun terakhir.
Namun, pada saat yang bersamaan, terdapat sekitar 625 hambatan nontarif yang dinotifikasi ke WTO setiap tahun. Angka tersebut meningkat sangat signifikan menjadi 1.400 hambatan nontarif antara tahun 2005 dan 2017.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: