Neraca perdagangan atau balance of trade (BoT) ialah perbedaan antara nilai semua barang dan jasa yang diekspor dan diimpor dari suatu negara dalam periode waktu tertentu. Neraca perdagangan menjadi komponen terbesar dalam neraca pembayaran karena menjadi indikator untuk mengukur seluruh transaksi internasional.
Dalam praktiknya, neraca perdagangan mempunyai dua sifat, yaitu positif dan negatif. Suatu negara dikatakan mempunyai neraca perdagangan yang positif apabila negera tersebut lebih banyak melakukan ekspor daripada impor. Hal itu disebut sebagai surplus perdagangan.
Baca Juga: Neraca Dagang Indonesia Maret 2019 Surplus US$0,54 Miliar
Sebaliknya, ketika suatu negara lebih banyak menerima impor dari negara lain daripada ekspor, negara tersebut mempunyai neraca perdagangan yang negatif. Kondisi yang demikian dikatakan sebagai defisit neraca perdagangan.
Penghitungan Neraca Perdagangan
Sebagaimana yang terdapat dalam definisi neraca perdagangan, ada dua hal yang dibutuhkan untuk menghitung neraca perdagangan, yaitu nilai ekspor dan nilai impor.
Pada dasarnya, neraca perdagangan mempunyai rumus yang sederhanya, yaitu hanya dengan mengurangi nilai ekspor dan nilai impor atas suatu barang dan jasa.
Neraca perdagangan = Ekspor – Impor
Ekspor yang dimaksud ialah barang dan jasa yang dibuat di dalam negeri dan dijual kepada orang asing. Adapun impor adalah barang dan jasa yang dibeli oleh penduduk suatu negara, di mana barang dan jasa tersebut dibuat di luar negeri.
Namun, ada celah yang menyebabkan penghitungan neraca perdagangan menjadi tidak akurat. Salah satunya adalah perdagangan gelap. Pasalnya, dalam perdagangan gelap, beberapa kegiatan transaksi tersebut hanya tercatat di satu negara (yang mengekspor atau yang mengimpor), sedangkan negara lainnya tidak. Alhasil, akumulasi dari seluruh neraca perdagangan dunia menjadi tidak seimbang.
Surplus vs Defisit
Ketika berbicara mengenai neraca perdagangan, surplus dan defisit bukan menjadi suatu yang bersifat hitam dan putih. Artinya, surplus tidak selamanya baik, begitu pun juga defisit yang tidak selamanya menunjukkan tanda bahaya terhadap perekonomian.
Neraca perdagangan yang surplus akan sangat dibutuhkan ketika perekonomian berada dalam fase resesi. Pasalnya, dalam keadaan tersebut, surplus perdagangan akan membantu dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan permintaan atas suatu barang dan jasa.
Sementara itu, defisit perdagangan akan sangat dibutuhkan ketika ekonomi suatu negara dalam keadaan ekspansi. Pasalnya, di saat seperti itu jumlah barang yang diimpor akan semakin banyak, namun harga tetap rendah karena banyaknya persaingan usaha.
Neraca Perdagangan Menguntungkan vs Tidak Menguntungkan
Hampir setiap negara membuat kebijakan ekonomi untuk menghasilkan surplus neraca perdagangan. Salah satu kebijakan tersebut diimplementasikan dalam wujud proteksionisme perdagangan.
Adapun cara kerja dari kebijakan tersebut adalah dengan melindung industri dalam negeri melalui pengenaan tarif, kuota, atau subsidi impor.
Sudah dikatakan sebelumnya bahwa defisit perdagangan dianggap sebagai suatu yang kurang menguntungkan bagi sebagian negara. Pasalnya, jika negara terus menurus menerima impor, tak ayal akan membuat bisnis dan produk dalam negeri menjadi tidak memiliki nilai tambah.
Hingga akhirnya, negara dengan defisit perdagangan yang tinggi akan menerapkan apa yang disebut merkantilisme, yaitu menghapus defisit defisit perdagangan dengan segala cara.
Salah satu yang paling umum untuk dilakukan adalah dengan menetapkan tarif impor dan kuota impor yang sayangnya diikuti pula oleh kenaikan harga konsumen. Hal tersebut tentu akan memicu proteksionisme reaksioner dari mitra dagang negara sehingga kemungkinan terbesarnya perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih