Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

R&I Kembali Kukuhkan Rating Indonesia Outlook Stabil

R&I Kembali Kukuhkan Rating Indonesia Outlook Stabil Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lembaga pemeringkat Rating and Investment Information Inc (R&I) kembali mengukuhkan peringkat Sovereign Credit Rating Indonesia pada level BBB/outlook stabil (investment grade) pada 26 April 2019. R&I sebelumnya menaikkan peringkat Indonesia dari BBB-/outlook positif menjadi BBB/outlook stabil pada 7 Maret 2018.

Dalam rilis yang diterima hari ini, Jumat (26/4/2019), di Jakarta, pengukuhan (afirmasi) rating tersebut didukung oleh beberapa faktor utama.

Pertama, ekonomi Indonesia tumbuh secara solid. Kedua, rasio defisit fiskal terhadap PDB menurun dibanding tahun sebelumnya dan rasio utang pemerintah terhadap PDB tetap rendah. Ketiga, resiliensi ekonomi terhadap gejolak eksternal dapat dijaga dengan dukungan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang mengutamakan stabilitas makroekonomi.

Baca Juga: BI Perkirakan Ekonomi RI Tumbuh Dekati 5,2% di Kuartal I 2019

"Bank sentral telah melanjutkan kebijakan yang menekankan pada menjaga stabilitas makroekonomi. PDB riil tumbuh sebesar 5,2% pada 2018. Untuk 2019, ekspor cenderung mendorong pertumbuhan karena ekonomi tujuan ekspor utama melambat. R&I memperkirakan tingkat pertumbuhan 2019 sekitar 5%, didukung terutama oleh domestik permintaan," terang R&I dalam keterangan resminya.

Lebih lanjut, meskipun defisit neraca transaksi berjalan di 2018 melebar, cadangan devisa dinilai memadai untuk menutup utang luar negeri jangka pendek.

"Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan defisit akan menyempit menjadi 2-3% dari PDB pada 2019. Utang luar negeri adalah 36% dari PDB pada akhir 2018. Pada akhir Maret 2019, asing cadangannya US$124,5 miliar, yang mencakup 6,8 bulan impor dan pembayaran eksternal pemerintah, dan pembayaran utang setara dengan sekitar dua kali utang luar negeri yang jatuh tempo dalam satu tahun," tulis R&I.

Pelebaran defisit neraca transaksi berjalan tersebut tidak hanya disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah, namun juga oleh peningkatan impor barang modal sebagai akibat semakin kuatnya aktivitas investasi yang akan berkontribusi pada penguatan fundamental ekonomi.

Defisit fiskal pemerintah pusat menyempit menjadi 1,76% dari PDB di 2018, yang didukung peningkatan penerimaan non-pajak secara signifikan akibat kenaikan harga minyak mentah, serta pertumbuhan penerimaan pajak yang relatif tinggi sejalan dengan kuatnya permintaan domestik dan semakin efisiennya proses pengumpulan pajak.

"Ketahanan ekonomi terhadap guncangan eksternal tetap terjaga, didukung oleh kebijakan pemerintah dan bank sentral yang menekankan stabilitas makroekonomi," sebut R&I.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 6% Asal...

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: