Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 6% Asal...

Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 6% Asal... Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pertumbuhan ekonomi jangka panjang di atas 6% diyakini bisa dicapai jika Indonesia mendorong investasi dan perbaikan neraca transaksi berjalan. Kedua kebijakan ini terkait dengan kebijakan Bank Indonesia dalam stabilitas makro ekonomi, reformasi kebijakan fiskal, dan pendalaman sektor keuangan.

Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu, mengatakan, apabila ingin pertumbuhan ekonomi tinggi yang bersifat jangka panjang maka sumber utama yang jadi pendorongnya adalah investasi.

Sebagai contoh, China pernah mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 10% selama 10 tahun (2000-2010) yang bersumber dari investasi dengan jumlah mencapai 40% dari produk domestik bruto (PDB). Di samping itu, China juga mengalami surplus neraca transaksi berjalan. 

Baca Juga: Di Tengah Gejolak Ekonomi, Kontribusi BUMN Meningkat 9,8 Persen Pertahun

Sementara ekonomi Indonesia dinilai mengalami penyakit struktural, yakni kenaikan investasi harus ditopang dengan impor barang modal, sehingga menghambat ekspansi investasi.

"Kalau mau investasi mendatangkan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka masalah defisit transaksi berjalan harus dibenahi terlebih dahulu," ujarnya.

Sementara itu, dua sektor utama yang perlu dibenahi dalam defisit neraca transaksi berjalan adalah sektor migas dan sektor konstruksi. "Keduanya mengalami defisit yang sangat besar," imbuhnya.

Di samping itu, Indonesia juga mengalami penyakit lain yakni impor BBM yang cukup besar. "Sungguh sayang, ketika perbaikan di sektor keuangan dengan peningkatan peringkat utang tidak diimbangi dengan perbaikan di sisi peningkatan kemampuan produksi dalam negeri," terang Anggito. 

Kemampuan perusahaan untuk meraih pembiayaan relatif murah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, karena hambatan dalam impor barang modal. Menurut dia, kalau Indonesia hanya mengharapkan dari sumber konsumsi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan bergerak di atas 5,5%.

Kebijakan konsumsi yang bertumpu kepada stabilitas ekonomi juga tidak dapat bertahan lama, karena stabilitas ekonomi tidak dapat diperoleh dengan gratis begitu saja. Stabilitas ekonomi membutuhkan intervensi Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah dan subsidi bahan kebutuhan pokok yang tidak kecil. 

Anggito mengungkapkan, saat ini Indonesia masih dapat tumbuh sekitar 5% didorong oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga. "Pertambahan penduduk per tahun sebesar 2% secara otomatis menambah tingkat konsumsi rumah tangga," kata dia.

Baca Juga: Ekonomi Nasional Diselamatkan Konsumsi Rumah Tangga Domestik, Mau Sampai Kapan?

Sementara, investasi jangka panjang terutama pada sektor infrastruktur meningkatkan rasio investasi di atas 30% dari PDB Indonesia. Menurut dia, angka itu sebetulnya sudah mendekati rasio investasi di India, tetapi efisiensi investasi infrastruktur Indonesia cenderung menurun.

Kontribusi anggaran pemerintah dapat diukur dari tingkat ekspansi dan kontraksi APBN, khususnya besarnya pengeluaran belanja pemerintah di luar gaji.

"APBN selama ini mengalami defisit atau ekspansi. Hanya saja, pengeluaran pemerintah itu belum tentu menghasilkan pertumbuhan ekonomi karena tergantung pada sumber defisit, yakni belanja modal atau belanja sosial, termasuk subsidi," beber dia.

Anggito melanjutkan, defisit APBN yang disebabkan alokasi belanja modal akan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka menengah. Sementara alokasi belanja sosial lebih berfungsi untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan inflasi

Sementara itu, pengeluaran untuk ekspor dan impor berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Apabila ekspor lebih besar daripada impor netto akan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. 

"Pada tahun 2018 defisit neraca transaksi berjalan sudah melampaui batas kurang aman, yakni 3% dari PDB," ungkapnya. Pertumbuhan ekonomi tinggi sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber kepercayaan pelaku ekonomi.

Di sisi lain, APBN 2019 diperkirakan akan rawan pada perubahan menghadapi turbulensi ekonomi global dan domestik. Turbulensi itu saat ini sedang dan akan datang dari eksternal berupa faktor global, serta dari internal berupa daya tahan ekonomi domestik. 

"Tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia. Setelah melalui tahun 2016 dan 2017 dengan relatif mulus, ekonomi Indonesia mulai mengalami ujian lagi di pertengahan tahun 2018 dan diperkirakan lebih berat di tahun 2019," ungkap Anggito.

Terlebih, Indonesia akan melaksanakan Pemilu maka kemungkinan besar APBN 2019 akan mengalami perubahan menjelang semester II. 

Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003-2008 Burhanuddin Abdullah menuturkan, pemerintah dan DPR perlu mengubah ketentuan defisit APBN yang saat ini dibatasi maksimal sebesar 3% setiap tahun fiskal berjalan. Pengelolaan defisit APBN seharusnya lebih fleksibel, dengan memperhatikan kebutuhan ekspansi belanja pemerintah. 

Menurut dia, defisit maksimal APBN sebaiknya dihitung secara rata-rata dalam satu tahun pemerintahan, bukan setiap tahun fiskal berjalan.

"Jadi tidak dibikin dalam tahunan. Kalalu tahun ini misalkan memerlukan jadi stimulusnya dihidupkan. Misal tahun ini lagi lesu nih, jadi 5% tahun depan kita kurangi jadi 4% tahun depan lagi jadi 4%. Jadi secara keseluruhan 3%," ungkap dia.

Burhan pun memandang, langkah seperti ini dirasa aman untuk investor global berinvestasi di Indonesia. Selain itu, pelonggaran ini juga dibutuhkan agar pemerintah leluasa memberikan stimulus ke perekonomian.

"Ini aman, tapi asumsinya pemerintah Indonesia bisa hati-hati dan tetap displin fiskal. Ini merupakan sebagai satu alternatif daripada yang sekarang," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: