Melihat masih tingginya peran energi fosil bagi ketahanan energi di masa mendatang, upaya meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pemerintah perlu meningkatkan iklim investasi yang baik sehingga dapat mengundang investor migas global masuk dengan tetap menghormati kesucian kontrak (contract sanctity) yang telah disepakati sebelumnya.
Demikian diungkapkan oleh Tumbur Parlindungan, praktisi migas nasional, dalam kesempatan diskusi media bertema "Eksplorasi Tanpa Investasi Migas?" di Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Dalam diskusi menyambut IPA Convex 2019 itu Tumbur menjelaskan bahwa hal utama yang dibutuhkan investor migas adalah contract sanctity atau pengakuan terhadap kesucian kontrak yang disepakati sebelumnya.
Contract sanctity itu yang paling utama. Karena investasi migas bersifat puluhan tahun, maka investor tidak bisa melakukan evaluasi kalau kontraknya dapat berubah-ubah setiap saat. "Itu list teratas permasalahan," tegasnya.
Sementara pengamat migas, Pri Agung Rakhmanto dari Reforminer Institute, menjelaskan, berdasarkan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, kebutuhan minyak mentah nasional tercatat terus meningkat.
Baca Juga: POD LNG Blok Masela Picu Investasi Migas Indonesia
Pada 2025, diproyeksi kebutuhan minyak mencapai sebesar 2,196 juta BOPD dan melesat menjadi 4,619 juta BOPD pada 2050. Dengan pertumbuhan konsumsi energi seperti itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan pasokan energi fosil tetap menjadi isu sentral.
Dalam RUEN juga dijelaskan bahwa 60%-70% bauran energi nasional masih akan didominasi oleh energi fosil, meskipun kontribusi energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada 2050. Penggunaan energi fosil dan terbarukan saling melengkapi dan tidak dapat mengandalkan satu sumber saja.
Namun, kondisi investasi hulu migas masih belum menunjukan pencerahan yang diharapkan. Dalam 10 tahun terakhir, berdasarkan data Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018, puncak investasi hulu migas terjadi di 2013 dan 2014 yang mencapai US$20,384 miliar dan US$20,380 miliar. Sementara tahun lalu, investasi hulu migas tercatat merosot jauh menjadi US$11,995 miliar.
Masih dalam kurun waktu yang sama, rata-rata pencapaian realisasi adalah 76% dari prognosa work plan and budget (WP&B) awal tahun. Jika dilihat pada 2010-2014, terjadi kenaikan harga minyak dunia, kemudian dilanjutkan sepanjang 2015 terjadi penurunan signifikan harga minyak mentah sampai akhirnya menyentuh level terendah sebesar US$27 per barel pada Januari 2018.
Baca Juga: Topang Target Lifting Migas 2019, Pemerintah Incar 11 Proyek Migas
Faktor internal dan eksternal punya peranan untuk mendorong ataupun menghambat datangnya arus modal masuk ke Tanah Air. Dari faktor eksternal, salah satunya kita melihat dinamika harga minyak dunia yang memengaruhi investor migas global untuk selektif memilih proyek migas di berbagai negara berdasarkan tingkat keekonomian proyek yang ada.
Dari sisi internal, menurut Pri Agung, kata kunci yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah kualitas regulasi berdaya saing global. Mungkin pemerintah telah banyak melakukan deregulasi, tapi mungkin juga belum kompetitif. Bagaimana dapat menarik eksplorasi, salah satunya fleksibilitas lebih ditingkatkan.
"Dampak eksplorasi yang paling konkrit adalah ketahanan energi itu sendiri," jelas Pri.
Dia menyarankan pemerintah sebaiknya lebih membuka diri kepada investor agar mereka berminat melakukan eksplorasi. Salah satu caranya, bisa saja dengan memberikan opsi skema kontrak yang ada. Seharusnya pemerintah tidak terpaku pada pola yang lama, semisal production sharing contract (PSC) konvensional diterapkan, antara eksplorasi dan eksploitasi bisa menjadi kesatuan ataupun dipisah.
"Esensinya kita harus berani keluar dari pola yang sudah dijalankan saja," imbuh Pri.
Pemerintah juga diharapkan tidak banyak menghasilkan kebijakan yang justru berpotensi mengganggu kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Selain itu, dalam menerbitkan kebijakan, pemerintah perlu memperhatikan apakah hal tersebut akan menarik bagi investor atau justru sebaliknya.
Dalam Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018 memang disebutkan bahwa faktor internal yang memengaruhi realisasi penandatanganan wilayah kerja migas adalah faktor terms and conditions yang dinilai kurang menarik.
Migas Masih Berpotensi
Tumbur optimis jika potensi cadangan migas Indonesia yang belum ditemukan masih melimpah dan dapat dikembangkan. Kepercayaan itu dibuktikannya dengan melihat temuan migas berskala besar di Blok Sakakemang, Sumatera Selatan.
Baca Juga: Impor Minyak Berkurang dengan Beralihnya Konsumsi Migas ke Listrik
Persoalannya, bagaimana pemerintah dapat mengundang para investor global, baik skala kecil ataupun besar, untuk melakukan eksplorasi di Indonesia.
Dia menjelaskan, investasi migas berlangsung secara massal dan terus menerus, mulai dari tahap eksplorasi, appraisal (penilaian), development (pengembangan) hingga produksi. Dan, investasi yang sangat besar ini hanya dapat dilakukan oleh investor global atau besar.
Setiap tahapan, lanjutnya, juga akan menimbulkan efek berganda (multiplier effect) masing-masing. Contohnya, eksplorasi. Kegiatan mencari sumber cadangan migas tersebut akan menimbulkan multiplier effect, di antara lain berupa foreign direct investment (FDI), penemuan cadangan baru, dan juga mengurangi impor migas.
"Pemerintah harus mengubah point-of-view untuk mengelola industri hulu migas di Indonesia, bukan dengan mengaturnya pada sisi akhir proses bisnis saja," pungkas Tumbur.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: